KOMPAS, Senin, 12 Januari 2009 | 16:39 WIB
JAKARTA, SENIN — Konflik kekerasan bernuansa politis akan mengalami peningkatan pada 2009 menjelang pesta demokrasi pemilu legislatif dan presiden. Untuk menghindari hal itu, Direktur Manajerial Imparsial Rusdi Marpaung, meminta semua elite politik untuk tak memperkeruh suasana dan mengendalikan pendukungnya agar tetap menggunakan cara-cara non-kekerasan.
Hal itu diungkapkannya dalam konferensi pers di kantor Imparsial, Jl Diponegoro, Jakarta, Senin (12/1).
“Kekerasan politik dengan motif penghakiman massa paling banyak ditemukan kasusnya pada 2008, itu tak lain bermuara dari konflik pilkada di daerah-daerah sepanjang tahun ini. Maka arah peningkatan itu ada di 2009 mengingat momen politik pemilu nasional, ditambah pilkada yang belum selesai di beberapa daerah,” ujarnya.
Rusdi mengatakan telah bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan aparat penegak hukum untuk mengantisipasi peningkatan konflik kekerasan tersebut. “Kita memberi rekomendasi agar Polri membuat protap khusus tentang pengamanan pemilu. Karena telah terbukti hasilnya pada Pemilu 2004. Konflik dapat diminimalisir pada pemilu tahun lalu,” katanya.
Berdasar data lembaga swadaya masyarakat Institut Titian Perdamaian 2008, jumlah kasus konflik politik mencapai 180 kasus. Daerah yang mencatat terjadi konflik politik paling banyak Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebesar 30 kasus, disusul Sulawesi Selatan 22 kasus, dan Jawa Barat 16 kasus. Adapun Maluku Utara mencapai 14 kasus dan Sulawesi tenggara 11 kasus.
“Kita sadar bangsa ini masih beruji coba dengan demokrasi, maka berkonflik itu wajar, asalkan tidak berujung pada kekerasan. Kita lihat mobilitas pergerakan massa menjelang pemilu dapat digerakkan oleh elite partai dengan isu-isu tertentu yang memicu konflik, ini yang patut diwaspadai,” jelas Program Manajer Institut Tititan Perdamaian Mohamad Miqdad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar