Rabu, 08 Agustus 2012
KEUANGAN MIKRO SEBAGAI SALAH SATU CARA EFEKTIF UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN DAN MENGGERAKKAN EKONOMI RAKYAT
Pada saat Gema PKM didirikan dengan suatu perayaan bersama Presiden RI di Istana Negara tanggal 10 Maret 2000, maka jika dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan pengembangan keuangan mikro terasa dibangun atas setidaknya kombinasi tiga maksud: untuk mengenal dan memperkenalkan LKM, membangun network diantara mereka yang “terkait” dengan LKM, serta mencari dan melaksanakan langkah-langkah berikutnya bagi pengembangan LKM. Ketiga aspek tersebut ditopang oleh motivasi dan peran serta setidaknya dari tiga kelompok “anggota” Gema PKM, yaitu kelompok yang yakin dengan arti penting dan peran LKM, khususnya dalam penanggulangan kemiskinan, diantaranya banyak yang juga telah mempraktekan pengembangan keuangan mikro secara langsung; kelompok yang melihat kemungkinan LKM sebagai salah satu alternatif dalam membantu masyarakat miskin menyelesaikan masalahnya; dan kelompok ‘campuran’ yang memiliki beragam motivasi.
Ketiga maksud yang mendasari pengembangan Gema PKM dan tiga bentuk motivasi anggota Gema PKM yang menyertainya merupakan cerminan atas pandangan mengenai keuangan mikro. Setelah tiga tahun perjuangan Gema PKM, terminologi dan arti penting “lembaga keuangan mikro” telah semakin dikenal oleh berbagai kalangan, juga telah disertakan – secara eksplisit maupun implisit – dalam berbagai dokumen resmi maupun dalam berbagai pemikiran, konsep, strategi, dan operasionalisasi penanggulangan kemiskinan dan pembangunan ekonomi rakyat. Lebih dari pada sekedar ‘mengenal’, telah banyak pula yang mencoba meyakinkan berbagai pihak bahwa apa yang dilakukannya adalah pengembangan LKM.
Dalam hal ini LKM sebenarnya telah jauh lebih ‘terkenal’ dan sudah ‘terkenal’ sejak lama. Namun umumnya pengenalan atau apresiasi itu terbatas pada mereka yang terlayani oleh LKM yang bersangkutan. Pengenalan LKM lebih diekspresikan sebagai “saya mengenal ‘LKM’ saya”. Kalaupun ada pengenalan diluar lingkup tersebut maka pengenalannya adalah terhadap beberapa kelembagaan keuangan mikro ‘terkemuka’, seperti BRI-UD, P4K, baitul-maal’, BPR, Pinbuk, arisan, dan sebagainya tanpa mengasosiasikan pemahaman bahwa lembaga-lembaga tersebut adalah sebuah lembaga keuangan mikro. Umumnya justru harus terdapat proses ‘penjelasan’ bahwa lembaga-lembaga terkenal itu adalah lembaga keuangan mikro, atau menjadikan lembaga-lembaga itu sebagai contoh untuk menjelaskan suatu lembaga keuangan mikro.
Keberadaan keuangan mikro tidak dapat dipisahkan dari usaha-usaha penanggulangan kemiskinan. Bahkan perhatian dan usaha untuk mengembangkan keuangan mikro terutama didasarkan pada motivasi untuk mempercapat usaha penanggulangan kemiskinan. Hal ini pulalah yang mendasari berbagai lembaga internasional bergerak langsung dalam kegiatan keuangan mikro maupun dalam pengembangan lembaga keuangan tersebut.
Keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha penanggulangan kemiskinan yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan kelompok miskin dan peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan, melalui :
¨ tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi,
¨ mengelola resiko dengan lebih baik,
¨ secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset,
¨ mengembangkan kegiatan usaha mikronya,
¨ menguatkan kapasistas perolehan pendapatannya, dan
¨ dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik.
Tanpa akses yang tetap pada lembaga keuangan (mikro), hampir selurulh rumah tangga miskin akan bergantung pada kemampuan pembiayaannya sendiri (yang sangat-sangat terbatas) atau pada kelembagaan keuangan informal (rentenir, tengkulak, pelepas uang)[2], yang membatasi kemampuan kelompok miskin berpartisipasi dan mendapat manfaat dari peluang pembangunan. Secara khusus keuangan mikro juga dapat menjadi jalan yang efektif dalam membantu dan memberdayakan perempuan, yang menjadi bagian terbesar dari masyarakat miskin sekaligus juga memiliki potensi dan peran besar untuk meningkatkan ekonomi keluarga jika mendapat kesempatan.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut, keuangan mikro pada gilirannya juga dapat memberikan kontribusi positif terhadap alokasi sumberdaya, promosi pemasaran, dan adopsi teknologi yang lebih baik. Dengan demikian, keuangan mikro membantu peningkatan ekonomi dan pembangunan, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin. Lebih dari pada itu keuangan mikro dapat memberikan kontribusi pada pengembangan sistem keuangan secara menyeluruh melalui integrasi pasar keuangan dan peningkatan jangkauan layanan yang selama ini tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional.
Dirangkum dari beberapa publikasi ADB.
Seperti telah dikemukakan diatas pengembangan LKM telah diyakini merupakan faktor penting dalam penanggulangan kemiskinan. Bahkan bagi banyak pihak pengembangan LKM merupakan bagian dari penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Padahal pengembangan keuangan mikro dapat pula diartikan sebagai usaha mengembangkan sistem keuangan (nasional dan lokal) yang lebih sesuai dengan kondisi rakyat yang riil (people based financial system), miskin ataupun tidak. Kedua aspek tersebut terkait erat satu dengan lainnya, walaupun pemberian fokus perhatian pada salah satunya sering menjadi strategi yang memang harus dilakukan. Strategi pengembangan keuanga mikro untuk kedua kepentingan diatas tampaknya sudah cukup jelas dan telah menjadi kesepakatan yang teruji dalam beberapa pembahasan. Strategi tersebut adalah :
1. Pengakuan dan Perlindungan. Hal ini diwujudkan melalui pengembangan kerangka regulasi (regulatory framework) bagi keuangan mikro. Keuangan mikro harus diakui, diapresiasi, dan dilindungi (baik LKMnya maupun publik yang terkait dengannya), serta dikeluarkan dari situasi sebagai lembaga yang “dibutuhkan tetapi ilegal”. Dalam konteks inilah LKM perlu menjadi bagian dari sistem keuangan nasional, yang didukung tidak hanya oleh suatu UU Keuangan Mikro tetapi juga berbagai perangkat hukum dan peraturan lainnya.
Catatan khusus bagi Indonesia yang telah memiliki keuangan mikro yang sangat beragam dan telah berperan sejak lama adalah bahwa ‘regulatory framework’ tersebut harus mampu memberikan apresiasi terhadap apa yang telah berkembang selama ini. Adanya perundang-undangan dan peraturan menyangkut keuangan mikro harus dicegah agar tidak menjungkir balikan semua yang ada dan menghilangkan kreativitas masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Oleh sebab itu pendekatan ‘voluntary legal framework’ tampaknya merupakan pendekatan yang sesuai.
2. Penguatan dan Peningkatan Kapasitas : Praktik dan Pengelolaan. Hal ini terkait dengan penguatan dan peningkatan kapasitas lembaga keuangan mikro melalui penyebaran informasi mengenai “best practices” yang digali baik dari pengalaman keuangan mikro di Indonesia sendiri maupun dari pengalaman di negara lain. Penguatan dan peningkatan kapasistas ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengembangan berbagai aspek usaha mikro lainnya (teknologi, manajemen, pemasaran, dll), dan juga perlu memperhatikan keragaman yang sudah berkembang hingga saat ini.
3. Penguatan dan Peningkatan Kapasitas : Sumberdaya Finansial. Hal ini dikaitkan dengan ketersediaan dana sekunder (dana bagi kegiatan LKM yang tidak berasal dari dalam LKM yang bersangkutan). Hal ini dapat dilakukan dengan mengadaan sumber dana sekunder khusus atau mengkaitkan LKM dengan lembaga keuangan lain yang sudah ada (perbanakan).
Kedua penguatan dan peningkatan diatas kemudian diarahkan untuk meningkatkan jangkauan (outreach) LKM dalam melayani masyarakat miskin, dan keduanya sangat terkait pula dengan pengembangan SDM dan pengembangan lembaga (human resource and institutional development).
Sebagai catatan penutup, sebagai bentuk refleksi efektivitas sebuah peran yang ditujukan untuk membantu masyarakat miskin kiranya perlu diterapkan suatu sikap yang rendah hati sekaligus meyakini sebuah harapan. Sebenarnya apa yang kita putuskan atau tidak-putuskan hari ini tidak akan berarti banyak bagi orang miskin besok atau bulan depan. Mereka tetap akan berusaha untuk ‘survive’ dengan caranya sendiri. Demikian juga dengan lembaga keuangan mikro, yang akan terus berkembang dan mengembangkan diri dengan kreativitas dan kemampuan mereka yang ada, terlepas apakah kita menganggapnya baik atau tidak. Apa yang kita putuskan, atau yang tidak kita putuskan hari ini mungkin akan berakibat bagi perkembangan keuangan mikro dalam jangka menengah atau jangka panjang. Oleh karenanya, harapan akan masa depan disertai kesabaran dan konsistensi akan menjadi komponen penting disamping ketepatan memilih langkah yang akan dilakukan.
MERAJUT KEBERSAMAAN DAN KEMANDIRIAN BANGSA MELALUI KEUANGAN MIKRO, UNTUK MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN MENGGERAKKAN EKONOMI RAKYAT
Dalam keheningan menatap situasi ke-Indonesiaan saat ini, akan membuat kita gamang. Dengan muram dan sedih kita harus mengatakan, realitas kekinian memang masih jauh dari harapan. Dihantam krisis multi dimensi, membuat kita jatuh tersungkur, bahkan seakan berada di titik nadir. Dan rasanya kita tak tahu akan diletakkan dimana wajah kita, bila dihadapkan founding fathers peletak pondasi nasion ini. Apalagi kini kita berpijak di bumi, di mana Sang Proklamator disemayamkan. Sosok Bapak Bangsa, seorang Nasionalis Tulen, Penyambung Lidah Rakyat yang mempunyai reputasi terhormat di kancah dunia.
Situasi yang kini kita alami, memang menggelisahkan. Rasanya, siapapun tak akan tenang hatinya menyaksikan sekitar 38 juta penduduk masih bergulat dalam kemiskinan. Jeritan tanpa suara (voice of the voiceless) itu, terasa menyayat sanubari, membuat kita bergegas ingin mengulurkan tangan. Namun, apakah mereka membutuhkan bantuan seperti yang kita pikirkan ? Pengalaman menunjukkan, bila bantuan yang kita berikan salah, justru akan mematikan kemandirian, inisiatif dan menimbulkan ketergantungan. oleh karena itu, mari kita “mencari tahu” siapakah si miskin itu ?
Apakah orang miskin malas dan tak mau bekerja ? Tentu tidak. Bila mereka tak mau bekerja, tentunya tak bisa mempertahankan hidup. Lalu, apakah mereka the have not ? Tentu juga bukan. Mereka adalah the have little, mereka memiliki sesuatu meski sedikit. Entah tenaga, tradisi gotong royong, tanah, famili dll. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja (keras), namun produktifitasnya sangat rendah. Acapkali jam kerjanya tak terbatas, namun penghasilannya tetap minim, usahanya kurang berkembang dan hanya bertahan pada tingkat subsistensi.
Orang miskin yang aktif bekerja ini dalam terminologi World Bank disebut economically active poor atau pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha (Tambunan, 2002).
Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development through equity.
Disamping mengakomodasi pemerataan seperti disebut di atas, mengembangkan kelompok usaha ini secara riil strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda.
Melihat peran dari usaha mikro yang sangat strategis, timbul pertanyaan mengapa usaha ini kebanyakan sulit berkembang. Untuk menelusuri hal tersebut, tabel di bawah ini akan menunjukkan berbagai persoalan yang menjerat para pengusaha mikro. Bagi pengusaha mikro, persoalan permodalan (aksesibilitas terhadap modal) ternyata merupakan masalah yang utama.
Jenis Kesulitan Usaha Mikro
1. Kesulitan modal (Jenis Kesulitan)
34.55% (IKR)
44.05% (IK)
2. Pengadaan bahan baku (Jenis Kesulitan)
20.14% (IKR)
12.22% (IK)
3. Pemasaran (Jenis Kesulitan)
31.70% (IKR)
34.00% (IK)
4. Kesulitan lainnya (Jenis Kesulitan)
13.6% (IKR)
9.73% (IK)
Ket:
IKR: Industri Kecil Rumah Tangga , IK: Industri Kecil
Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh (undeserved) dan tidak dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak layak bank (not bankable) karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan modal apa adanya yang mereka miliki. Tabel data di bawah ini akan memperlihatkan realitas tersebut.
Mengapa Keuangan Mikro ?
Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di Indonesia sendiri hal itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun lalu pun sudah mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum baru, yaitu dengan adanya Microcredit Summit (MS) yang diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997.
MS merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak negara. MS juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan keragaan keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat (perekonomian rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar 600 juta jiwa).
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka.
Dalam mengembangkan keuangan mikro untuk melayani masyarakat miskin (economically active poor) tersebut, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan :
Banking of the poor
Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance, dimana mobilisasi keuangan mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership base, dimana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dll.
Banking with the poor
Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan yang telah ada, baik kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas bersifat informal atau yang sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta lembaga keuangan formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda itu, diupayakan untuk diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat simbiose mutualisme, atau saling menguntungkan. Pihak bank akan mendapat nasabah yang makin banyak (outreaching), sementara pihak masyarakat miskin akan mendapat akses untuk mendapatkan financial support. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan pola yang sering disebut Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK).
Banking for the poor
Bentuk ini mendasarkan diri atas credit led institution dimana sumber dari financial support terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat miskin, namun memperoleh dari sumber lain yang memang ditujukan untuk masyarakat miskin. Dengan demikian tersedia dana cukup besar yang memang ditujukan kepada masyarakat miskin melalui kredit. Contoh bentuk ini adalah : Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Grameen Bank, ASA, dll.
Bentuk pertama (Banking of the poor) menekankan pada aspek pendidikan bagi masyarakat miskin, serta melatih kemandirian. Bentuk ketiga (Banking for the poor) menekankan pada penggalangan resources yang dijadikan modal (capital heavy), yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Sedangkan bentuk kedua (Banking with the poor) lebih menekankan pada fungsi penghubung (intermediary) dan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada.
Keuangan Mikro dan Dua Generasi Pembangunan
Upaya penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi rakyat tidak dapat tidak terkait dengan praktek pembangunan yang dilakukan selama ini yang melalui krisis ekonomi telah memaparkan kelemahan dan kegagalannya. Proses pembangunan di Indonesia seperti di banyak negara berkembang lainnya, pada awalnya menyikapi persoalan kemiskinan (termasuk didalamnya ekonomi rakyat) dengan melihatnya sebagai keadaan sementara yang dalam proses pembangunan lebih lanjut akan secara otomatis menghilang melalui proses trickle down effect. Untuk membantu rakyat miskin bertahan dalam kemiskinannya sampai tiba waktunya kue pembangunan menetes pada mereka, disediakanlah berbagai bantuan kepada mereka.
Format bantuan ini sangat beraneka ragam mulai dari penyediaan berbagai kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, kesehatan, maupun pendidikan sampai bantuan teknis dan hibah peralatan serta modal. Pendekatan yang sering disebut sebagai pendekatan pembangunan generasi pertama ini harus diakui telah mampu meningkatkan berbagai indikator sosial secara signifikan. Namun harus diakui pula pendekatan ini telah menimbulkan berbagai persoalan seperti berkembangnya sikap ketergantungan dan melemahnya berbagai modal sosial yang dimiliki masyarakat, tidak diselesaikannya akar masalah penyebab kemiskinan yaitu ketimpangan distribusi dan akses terhadap sumber daya ekonomi, masih dipinggirkannya peran perempuan, dan semakin melebarnya jurang perbedaan antara mereka yang diuntungkan dalam kebijakan perekonomian yang diambil dengan rakyat miskin secara keseluruhan.
Pada sisi lain, pendekatan pembangunan generasi pertama membutuhkan biaya yang amat besar dan harus ditanggung oleh negara yang dalam kenyataannya semakin lama semakin jauh diluar kemampuan negara untuk membiayai sendiri. Sebagai akibatnya, seperti dalam kasus Indonesia berbagai program pembangunan semakin lama semakin tergantung pada negara dan pembiayaannya semakin mengandalkan pinjaman luar negeri.
Belajar dari pengalaman generasi pertama, pendekatan pembangunan generasi kedua mulai menggunakan keuangan mikro sebagai metode utamanya. Kontribusi dari pendekatan generasi kedua ini adalah: 1) diversifikasi pelaku utama pembangunan, 2) pembiayaan pembangunan yang menggunakan sumber-sumber keuangan dari masyarakat sendiri, 3) semakin pentingnya peran perempuan, 4) pendekatan pembangunan yang memiliki potensi untuk berlanjut (sustainable).
Pendekatan pembangunan generasi pertama yang menumpukan inisiatif pembangunan pada pemerintah telah memiliki dampak yang kurang menguntungkan pada dua arah. Pada sisi pemerintah beban pembangunan yang sebelumnya tersebar pada berbagai kelompok masyarakat mengerucut dan menjadi beban pemerintah sendiri. Sementara pada masyarakat, pengambiloperan berbagai kegiatan pembangunan oleh pemerintah telah mengembangkan sikap apatis dan ketergantungan yang semakin lama semakin besar.
Kelompok masyarakat yang dalam generasi pertama diandalkan oleh pemerintah menjadi lokomotif pembangunan yaitu sektor usaha besar dan konglomerasi telah mendominasi baik pertumbuhan ekonomi, pangsa pasar maupun produk domestik bruto (PDB)[3], akan tetapi dominasi itu ternyata tidak diikuti pengelolaan internal perusahaan yang baik (good corporate governance). Berbagai fasilitas dan perlakuan khusus yang disediakan pemerintah sebagai upaya mengakselerasi pertumbuhan mereka ternyata dalam kenyataannya justru banyak disalahgunakan serta mendorong berbagai tindakan yang tidak sepantasnya (misconduct).
Ambruknya sektor usaha besar dan konglomerasi menimbulkan efek domino pada ekonomi Indonesia yang strukturnya memang sudah timpang. Pelajaran lain yang diambil dari itu adalah eksisnya sektor ekonomi rakyat yang selama ini dimarjinalisasi ternyata mampu menjadi bantal penyelamat ekonomi nasional. Menjadi kesadaran bersama bahwasanya kedepan sektor ekonomi rakyat perlu mendapatkan perlakuan yang sepantasnya dan sewajarnya sebagai alternatif pelaku ekonomi nasional.
Pengambiloperan inisiatif pembangunan membuat biaya pembangunan menjadi terkonsentrasi pada pemerintah. Beban yang semakin lama semakin besar ini tidak dipenuhi melalui sumber-sumber pembiayaan dalam negeri melainkan menggunakan sumber pembiayaan luar negeri yang pada gilirannya mendorong munculnya ketergantungan yang semakin besar. Kebijakan yang ditempuh tersebut kurang memberikan apresiasi terhadap kenyataan bahwa didalam negeri terdapat sumber dana yang memadai. Kenyataan bahwa dari seluruh dana yang dihimpun dari masyarakat melalui perbankan (kasus BRI) hanya kurang dari separuh yang dimanfaatkan untuk memberikan pembiayaan usaha melalui kredit menegaskan kebijakan tersebut. Pendekatan keuangan mikro dalam generasi kedua membuka pemikiran bahwa pembiayaan pembangunan dapat dilakukan secara komersial menggunakan sumber dana dalam negeri yaitu tabungan masyarakat.
Peran perempuan selama beberapa waktu kurang mendapatkan tempat yang sepantasnya meskipun sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa. Pengalaman praktek keuangan mikro di berbagai tempat ternyata memberikan bukti yang berbeda. Kaum perempuan justru merupakan kelompok yang proaktif dan handal dalam mengelola ekonomi rumah tangga dan memanfaatkan peluang ekonomi secara optimal. Kaum perempuan juga memberikan dampak berganda (multipler effect) yang lebih besar dari intervensi pembangunan yang dilakukan karena berbagai persoalan keluarga seperti gizi keluarga, kesehatan keluarga, pendidikan anak, dan sebagainya secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak.
Pendekatan proyek yang selama generasi pertama pembangunan dikembangkan, dalam kenyataannya sebagian besar tidak berlanjut. Pendekatan proyek ini memiliki beberapa karakteristik, yaitu: adanya batasan waktu, bekerja berdasarkan budget yang sudah dialokasikan, serta tidak diketahui tindak lanjutnya. Batasan waktu yang melekat pada pendekatan proyek seringkali meniadakan hasil-hasil yang telah dicapai oleh proyek itu sendiri. Hal ini terjadi karena persoalan kemiskinan adalah persoalan komplek yang penanganannya tidak bisa instant result dan karenanya membutuhkan komitmen yang panjang.
Pendekatan proyek yang hanya bekerja berdasarkan alokasi budget dalam pengalaman lapangan tidak bisa menarik sumber-sumber pendanaan lain dalam jumlah yang signifikan yang bisa menjamin keberlanjutan dari proyek. Proyek bekerja untuk menghabiskan alokasi yang sudah ditentukan dan tidak perlu mempertimbangkan apakah dana yang sudah dihabiskan akan kembali atau tidak (meskipun dana tersebut adalah dana pinjaman).
Kenyataan menunjukkan berbagai proyek juga tidak pernah mempertimbangkan kondisi pasca proyek. Apa yang akan terjadi apabila berbagai pelayanan dan bantuan menghilang? Siapa yang akan bertanggung jawab meneruskan kegiatan yang sudah dimulai? Hal-hal tersebut menjadi persoalan pada pendekatan proyek. Dalam generasi kedua, berbagai inisiatif pembangunan meletakkan persoalan keberlanjutan pada prioritas pertama. Sebagai konsekuensinya, pendekatan proyek mulai digantikan dengan pendekatan sistem dan kebijakan yang memang pada satu sisi menuntut pemerintah untuk secara bertahap mentransformasi perannya dari pelaksana berbagai proyek menjadi fasilitator dan berkonsentrasi pada penyusunan sistem dan kebijakan yang pro ekonomi rakyat. Sementara pada sisi lain, pelaku-pelaku pembangunan perlu diberdayakan untuk bertanggung jawab mengambil peran yang lebih besar.
Merajut Kebersamaan dan Membangun Kemandirian Bangsa
Dalam konteks pembangunan generasi kedua, menggalang kerjasama berbagai pihak (stakeholders) dalam masyarakat adalah hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah forum (wadah) kebersamaan para pelaku yang mempunyai keterkaitan untuk pengembangan usaha rakyat sehingga bisa saling berkomunikasi, saling memahami, membentuk jaringan, dan bekerjasama secara saling menguntungkan.
Salah satu alternatif yang telah dilakukan dalam pengalaman kami adalah pembentukan Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia. Gema PKM ini adalah sebuah forum stakeholder yang terdiri dari institusi pemerintah, lembaga keuangan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, akademisi (perguruan tinggi) dan lembaga penelitian, sektor usaha, sektor bisnis, media massa, dan kelompok swadaya masyarakat (masyarakat miskin).
Dari pengalaman yang telah kami alami, dengan adanya interaksi, komunikasi, saling belajar dan mengajar, serta saling memahami satu sama lain, maka akan terjadi pembelajaran masing-masing dan kerjasama yang saling menguntungkan. Banyak persoalan yang akhirnya dapat dipecahkan sendiri diantara para pihak yang berkaitan dengan adanya interaksi dan komunikasi yang intensif.
Dan dari refleksi perjalanan yang telah kami alami, untuk membantu mereka yang miskin dan lemah melalui semacam terbentuknya semacam forum ini, niat baik saja tidaklah cukup. Ternyata dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ketahanan bergumul dengan berbagai kerumitan, namun tetap harus fokus pada tujuan. Dan salah satu kunci keberhasilan dari forum semacam ini adalah partisipasi dan sikap pro aktif dari para stakeholder sendiri.
Dan sebagai catatan penutup, apa yang kita putuskan atau tidak-putuskan hari ini tidak akan berarti banyak bagi orang miskin (pengusaha mikro) besok atau bulan depan. Mereka tetap akan berusaha untuk ‘survive’ dengan caranya sendiri. Namun apa yang kita putuskan, atau yang tidak kita putuskan hari ini mungkin akan berakibat bagi perkembangan ekonomi rakyat (usaha mikro) dalam jangka menengah atau jangka panjang.
Namun yang jelas, kita telah “berhutang” kepada para founding fathers, untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan, yaitu berdaulat dalam bidang politik, berkepribadian dalam bidang kebudayaan dan mandiri dalam bidang ekonomi. Tetapi setiap generasi mempunyai pilihannya sendiri, apakah kita akan memperjuangkan hal itu, tentu tergantung pada diri kita sendiri. Namun yang jelas, setiap pilihan merupakan cerminan dari sebuah sikap. Inilah yang akan memperlihatkan apakah kita akan menjadi bangsa yang besar dan mandiri, ataukah memang kita adalah bangsa yang lemah dan hanya menjadi peminta-minta. Inilah tantangan generasi kita sekarang.
Pengalaman Seorang Pengusaha
Ibu Sri (bukan nama sebenarnya), berumur sekitar 40 tahun, tinggal di desa Sragen (Jawa Tengah), adalah seorang pengusaha warung makan sederhana. Pada suatu hari terpaksa meminjam uang sejumlah Rp 1 juta dari pelepas uang (atau lebih dikenal sebagai rentenir). Tiap bulan dia harus membayar Rp 100.000, tetapi pinjaman tersebut tidak pernah lunas, sebab bunganya 10% sebulan. Jadi Rp 100.000 yang dia angsur selama ini hanya bunganya saja, sementara untuk pokoknya tidak pernah lunas. Kemudian atas ajakan kawannya, dia bergabung dalam suatu kelompok ibu-ibu para pengusaha mikro lainnya, yang lebih dikenal dengan istilah KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Setelah kelompoknya dipandang cukup solid, oleh pendampingnya diberi kesempatan untuk mulai meminjam ke Lembaga Keuangan Mikro, masing-masing Rp 1 juta. Oleh Ibu Sri pinjaman tersebut digunakan untuk membayar lunas semua hutangnya pada pelepas uang. Kemudian setiap bulannya Ibu Sri tetap membayar Rp 100.000 kepada kelompoknya, dan setelah 12 kali angsuran hutangnya dinyatakan lunas. Ibu Sri sangat bersyukur dan sejak itu penghasilannya meningkat dengan Rp 100.000 setiap bulannya, karena pinjamannya sudah lunas.
Itulah keuangan mikro, dengan Rp 1 juta, dapat mengubah kehidupan Ibu Sri dan keluarganya. Ia memang tidak mempunyai akses ke Lembaga Keuangan seperti bank, sebab tak punya agunan maupun tabungan. Satu-satunya akses adalah ke para pelepas uang, dan itu berarti ia akan menjadi miskin seumur hidupnya, karena tingginya bunga pinjaman (10 – 20 % setiap bulan). Berapa banyak orang-orang seperti Ibu Sri di Indonesia? Yaitu orang-orang miskin, tetapi punya usaha yang sangat kecil (makanya disebut usaha mikro). Menurut data dari PNM (Permodalan Nasional Madani), jumlah pengusaha mikro di Indonesia ada 34,5 juta unit, dan dengan keluarganya (istri, suami, anak-anak) rata-rata 4 orang menjadi 34,5 x 4 = 138 juta jiwa, yang berarti lebih dari setengah penduduk Indonesia. Apakah mereka miskin? Umumnya begitu. Kriterianya apa? Nah, di sinilah kita belum pernah punya kesepakatan bersama, dan perdebatan serta adu argumentasi masih berlangsung terus. Masing-masing institusi memakai kriteria yang berbeda-beda, sehingga angka-angka kemiskinan selalu simpang siur. Secara global, ada semacam pengertian tentang kemiskinan yang dapat diterima dan dimengerti satu sama lain, yaitu apabila penghasilannya kurang dari: US$ 1 per hari per orang. Jadi satu keluarga dengan anggota suami, istri dan 2 anak, perlu punya penghasilan 4 X US$1 X Rp 10.000 = Rp40. 000/ hari atau Rp 1.200.000 sebulan, agar tidak tergolong miskin. Wah, kalau begitu angka kemiskinan akan jadi besar sekali? Belum tentu, asalkan usaha-usaha mikro, baik di desa-desa maupun di sekitar kota besar (daerah urban) dapat tumbuh baik.
Mari kita lihat pengalaman Ibu Sari di Desa Parung Bogor. Suaminya bekerja sebagai pengemudi, dan dia sendiri sebagai pedagang sayur mayur keperluan sehari-hari, bertempat di rumahnya. Setiap pagi, ketika orang lain masih nyenyak tidur, pada jam 02.00 sampai 04.00, dengan ditemani suaminya dia belanja sayur mayur di pasar Parung. Dia memilih sayur dan makanan sehari-hari, dengan ragam dan jumlah yang kira-kira akan habis terjual hari itu juga. Biasanya dia membelanjakan sekitar Rp 500.000 sampai Rp 600.000 setiap hari, yang terdiri dari: ayam 7 ekor, daging 2 kg, ikan 10 ekor, tempe 70 potong, tahu 200 potong dan sayur mayur lengkap untuk membuat; sambal-sambalan, sayur sop, sayur asem, sayur lodeh dan lain-lain. Dia menjualnya dengan harga cukup ringan (kompetitif istilah kerennya), seperti: sambalan Rp 1.000, sop Rp 1000, sayur asem Rp 1.500, sayur lodeh Rp 2.000. Sisa yang tidak laku dimakan sendiri, atau diberikan kepada orang-orang yang kurang beruntung sebagai sedekah, sebab tidak dapat dijual kembali keesokan harinya. Tetapi kalau ayam, oleh Ibu Sari diberi bumbu, dan dijual sebagai ayam kuning keesokan harinya. Setiap hari penjualannya mencapai rata-rata Rp 700.000, dan masih ada yang menjadi piutang, karena langganannya ada yang penghasilannya bulanan, sehingga baru bisa membayar pada akhir bulan. Tetapi keluarga ini tidak mau menganggap mereka berpenghasilan Rp 2 juta per bulan. Tetapi mereka lebih memilih menganggap penghasilan bersihnya Rp 40.000 sehari, sebab suami dan kedua anaknya mengambil masing-masing Rp 10.000 sehari, dan belanja keperluan rumah tangga lainnya. Mereka mensyukuri Rp 40.000/hari bersih, dari pada menganggap penghasilannya sekitar Rp 2 juta sebulan. Tetapi penghasilan mereka melebihiUS$ 1 per orang per hari. Sehingga mereka bukan tergolong miskin.
Usaha mikro memiliki laba atau profit margin yang cukup tinggi. Sebagai contoh pedagang sayur keliling di komplek-komplek perumahan. Harga tempe di pasar Rp 500, di komplek perumahan bisa mencapai Rp 1.500 – tiga kali lipat. Sayur kangkung di pasar 1 ikat = Rp 250, di gedongan bisa mencapai Rp 1.000 – empat kali lipat. Namun pelanggannya puas, karena tidak usah repot pergi ke pasar atau supermarket dan boleh beli secukupnya saja, jadi “win-win”. Bagi usaha mikro, yang terpenting bukan bunga pinjaman yang rendah, tetapi akses ke lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman tanpa agunan dan prosedurnya mudah serta dananya dapat dicairkan tepat waktu dan tepat jumlah. Pinjaman dana itu pada umumnya dibutuhkan untuk tambahan modal kerja. Mengapa diperlukan? Karena harga-harga naik dari waktu ke waktu, maka modal kerja yang ada tidak mencukupi lagi untuk membeli jumlah barang dagangan yang sama banyaknya. Apalagi kalau hasilnya menurun, masih terpakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga modal kerjanya makin susut lagi. Disinilah keuangan mikro berperan untuk menyelamatkan mereka dari kemiskinan. Kalau modal kerjanya sudah cukup, maka kebutuhan mendesak lainnya akan menyusul, misalnya biaya sekolah anak-anak. Mereka tahu betul tanggung jawabnya sebagai orang tua, untuk memberikan pendidikan yang sebaik mungkin bagi anak-anaknya yang tercinta.
Nah, tanpa terasa kita telah menceritakan banyak aspek tentang keuangan mikro, serta peranannya dalam mengentaskan kemiskinan. Tetapi apakah para pembaca juga telah menangkap dan mengerti sama seperti yang saya mengerti? Barangkali masih ada yang belum sepenuhnya mengerti, maka baiklah tulisan ini diakhiri dengan ringkasan-ringkasan sebagai berikut:
Keuangan mikro adalah suatu alternatif yang amat dibutuhkan bagi usaha mikro, karena mereka tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal: Bank, BPR (Bank Perkreditan Rakyat).
Dalam Keuangan mikro, para pihak yang terkait adalah:
a. Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang menyediakan dana yang berkesinambungan dan makin besar dananya.
b. Lembaga Pendampingan Usaha Mikro (LPUM), yang secara berkelanjutan mendampingi kelompok usaha mikro maupun satu persatu anggota kelompok
c. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), yang membentuk kelompoknya sesuai dengan kebutuhan mereka dan terdiri dari anggota-anggota yang mereka kenal satu sama lain termasuk usaha-usahanya yang beraneka rupa. Berkelompok itu penting karena:
Ø Motivasi dan spirit berusaha dapat terpelihara dengan baik, dan mereka dapat belajar satu sama lain.
Ø Pada kelompok yang solid, dapat diterapkan sistem “tanggung renteng”. Sistem ini sebagai pengganti kolateral (dikenal sebagai collateral substitute), sehingga resiko tidak membayar kembali pinjaman, menjadi kecil.
Ø Kebiasaan menabung dapat dibina dengan baik serta dikembangkan. Dan apabila jumlah tabungan sudah memadai, anggota dapat meminjam dari kelompoknya. Kemudian kelompok yang jumlah tabungannnya sudah besar (Ada kelompok yang jumlah tabungannya lebih dari Rp 30 juta, lho!) melebihi kebutuhan anggota kelompok mereka, dapat menjadi Lembaga Keuangan Mikro yang melayani kebutuhan dari kelompok yang lain.
d. Dengan berkelompok, maka biaya transaksi bagi LKM dan LPUM menjadi ringan. Pelayanan secara individual kepada usaha mikro akan memerlukan transactin cost yang tinggi sekali.
e. Dengan sistem seperti tertsebut di atas, maka para pihak, yaitu: LKM, LPUM, dan KSM beserta anggotanya, dapat berjalan secara berkesinambungan (sustainable) dan mandiri. Alangkah indahnya.
f. Dengan demikian keuangan mikro dapat berperan untuk mengentaskan kemiskinan, tidak untuk semua kemiskinan, tetapi hanya sebatas pada orang-orang miskin yang punya usaha (enomically active poor). Tetapi jangan lupa, jumlah usaha mikro ini besar sekali. Kemiskinan yang lain seperti: orang-orang tua jompo, para penganggur, anak-anak terlantar, harus diatasi dengan cara-cara efektif yang lain.
g. Aspek lain dari keuangan mikro adalah kemampuannya untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Coba bayangkan kalau dalam satu desa ada 70 kelompok dengan jumlah anggota seluruhnya 1500 KK dan masing-masing menerima pinjaman rata-rata Rp 1 juta, maka ada dana Rp 1,5 milyar, dan uang tersebut dibelanjakan untuk barang-barang dagangan, baik hasil pertanian maupun hasil industri, maka perekonomian di desa tersebut akan bergerak memutar roda perekonomian yang akan terus mempunyai efek beranting (multiplier effect) sampai pada perekonomian nasional. Itu baru satu desa. Kalau ada 1000 desa, maka dana Rp 1,5 triliun dampaknya bagi perekonomian di desa-desa dan dampaknya secara nasional pasti akan dirasakan.
PRINSIP-PRINSIP KUNCI KEUANGAN MIKRO
1. Masyarakat miskin membutuhkan aneka ragam jasa keuangan, tidak hanya pinjaman.
Sebagaimana halnya dengan banyak orang lainnya, orang miskin juga membutuhkan bermacam-macam jasa keuangan yang nyaman, fleksibel, dan penetapan harga yang wajar. Tergantung keadaan mereka, orang miskin tidak saja membutuhkan kredit, tetapi juga tabungan, transfer uang, dan asuransi.
2. Keuangan mikro adalah instrumen yang berdaya guna untuk melawan kemiskinan.
Akses terhadap jasa keuangan berkelanjutan memungkinkan masyakat miskin meningkatkan pendapatan, meningkatkan aset, dan mengurangi kerentanan mereka terhadap goncangan eksternal. Keuangan mikro memungkinkan rumahtangga berpendapatan rendah untuk beralih dari sekedar perjuangan untuk bertahan hidup dari hari ke hari menuju perencanaan masa depan, investasi untuk gizi yang lebih baik, peningkatan kondisi kehidupan, serta peningkatan kesehatan dan pendidikan anak-anak.
3. Keuangan mikro artinya membangun sistem keuangan untuk melayani masyarakat miskin.
Orang miskin merupakan mayoritas luas dari penduduk di kebanyakan negara berkembang. Namun, orang miskin yang jumlahnya sangat besar terus kekurangan akses terhadap jasa keuangan mendasar. Dibanyak negara, keuangan mikro masih terus dipandang sebagai sektor marjinal dan terutama menjadi kepedulian pengembangan untuk lembaga donor, pemerintahan, dan investor dengan tanggung jawab sosial. Agar dapat mencapai potensi keuangan mikro secara penuh dalam menjangkau sejumlah besar orang miskin, keuangan mikro harus menjadi bagian yang utuh dari sektor keuangan.
4. Keberlanjutan keuangan sangat diperlukan agar mampu menjangkau orang miskin dalam jumlah besar.
Kebanyakan orang miskin tidak bisa mengakses jasa keuangan karena kurangnya perantara keuangan yang kuat. Membangun lembaga keuangan yang berkelanjutan bukanlah tujuan akhir itu sendiri. Lembaga keuangan yang berkelanjutan merupakan satu-satunya cara untuk menjangkau orang miskin dalam skala dan dampak yang lebih berarti melampaui apa saja yang sanggup didanai oleh lembaga donor. Berkelanjutan adalah kemampuan penyedia keuangan mikro untuk menutupi seluruh biaya yang diperlukan. Kemampuan ini memungkinkan keberlanjutan operasional penyedia keuangan mikro dan penyediaan jasa keuangan yang terus menerus bagi masyarakat miskin. Mencapai keberlanjutan keuangan artinya mengurangi biaya-biaya transaksi, menawarkan produk dan jasa lebih baik yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, dan menemukan cara-cara baru untuk menjangkau masyarakat miskin yang belum mendapatkan pelayanan dari bank.
5. Keuangan mikro itu mengenai pembangunan lembaga keuangan lokal yang permanen.
Pembangunan sistem keuangan bagi masyarakat miskin artinya pengembangan perantara keuangan domestik yang sehat yang dapat menyediakan jasa keuangan untuk orang miskin secara tetap. Lembaga perantara tersebut harus mampu memobilisasi dan mendaur ulang tabungan domestik, menyalurkan kredit, dan menyediakan beragam pelayanan. Ketergantungan pada pendanaan dari donor dan pemerintah – termasuk bank pembangunan yang dibiayai pemerintah – berangsur-angsur akan berkurang ketika berbagai lembaga keuangan lokal dan pasar modal swasta beranjak dewasa.
6. Kredit mikro tidak selau merupakan jawaban.
Kredit mikro tidak sesuai bagi setiap orang atau setiap situasi. Orang melarat dan lapar yang tidak memiliki pendapatan atau uang untuk mengembalikan pinjaman, membutuhkan bentuk bantuan lain sebelum mereka dapat memanfaatkan pinjaman. Dalam banyak hal, hibah dalam jumlah kecil, peningkatan infrastruktur, program lapangan kerja dan pelatihan, dan jasa bukan keuangan lainnya mungkin adalah alat yang lebih sesuai bagi pengentasan kemiskinan. Dimana memungkinkan, jasa bukan keuangan seperti itu harus digabungkan dengan membangun tabungan.
7. Pembatasan suku bunga bisa merugikan akses masyarakat miskin terhadap jasa keuangan.
Biayanya lebih besar jika memberikan banyak pinjaman kecil daripada memberikan beberapa pinjaman besar. Kecuali para penyalur kredit mikro dapat membebankan suku bunga jauh diatas ratarata suku bunga pinjaman bank, mereka tidak akan mampu menutupi biaya mereka, dan pertumbuhan serta kesinambungan mereka akan terbatas karena pasokan pendanaan bersubsidi yang langka dan tak menentu. Ketika pemerintahan mengatur tingkat suku bunga, mereka biasanya menetapkannya pada tingkat yang terlampau rendah untuk memungkinkan kredit mikro berkelanjutan. Pada saat yang sama, para penyalur kredit mikro tak seharusnya meneruskan operasional yang tidak efisien kepada para pelanggan dalam bentuk harga (tingkat suku bunga dan provisi lainnya) yang jauh lebih tinggi dari semestinya.
8. Peran pemerintah adalah sebagai pemberi kemudahan, bukan sebagai penyedia jasa keuangan secara langsung.
Pemerintahan nasional memainkan peran penting dalam membentuk lingkungan kebijakan yang mendukung yang mendorong pengembangan jasa keuangan serta melindungi tabungan masyarakat miskin. Langkah-langkah kunci yang bisa ditempuh sebuah pemerintah untuk keuangan mikro adalah mempertahankan stabilitas keuangan makro, menghindari penetapan ambang batas suku bunga, dan menahan diri dari mengubah kondisi pasar dengan berbagai program pinjaman bersubsidi yang rawan akan tunggakan dan tak berkelanjutan. Pemerintah juga dapat mendukung penyediaan jasa keuangan untuk masyarakat miskin dengan menyempurnakan lingkungan bisnis bagi para pengusaha, membasmi korupsi, dan memperbaiki akses pasar dan infrastruktur. Dalam beberapa situasi istimewa, pendanaan dari pemerintah untuk lembaga-lembaga keuangan mikro yang sehat dan independen bisa dibenarkan manakala dana lainnya tidak tersedia.
9. Subsidi donor harus bersifat melengkapi, tidak bersaing dengan modal sektor swasta.
Para donor harus memanfaatkan penyediaan hibah, pinjamanan perlengkapan modal yang tepat untuk sementara waktu bagi membangun kapasitas kelembagaan para penyedia jasa keuangan, mengembangkan infrastruktur pendukung (seperti lembaga penilaian, biro kredit, kapasitas audit, dll.), dan mendukung berbagai jasa dan produk percobaan. Dalam beberapa kasus, subsidi donor jangka panjang mungkin dibutuhkan untuk menjangkau sejumlah wilayah dengan jumlah penduduk sedikit dan sukar didatangi. Untuk menjadi efektif, pendanaan donor harus berupaya mengintegrasikan jasa keuangan bagi masyarakat miskin kedalam pasar keuangan setempat; menerapkan keahlian khusus pada perancangan dan pelaksanaan proyek; mempersyaratkan lembaga keuangan serta mitra lainnya memenuhi ukuran kinerja minimum sebagai syarat untuk kelangsungan dukungan; dan merencanakan jalan keluar sejak awal.
10. Kurangnya kemampuan kelembagaan dan manusia adalah kendala kunci.
Keuangan mikro merupakan sebuah bidang khusus yang menggabungkan perbankan dengan tujuan sosial, dan kapasitas perlu dikembangkan pada semua tingkatan, mulai dari berbagai lembaga keuangan sampai badan pembuat kebijakan dan pengawasan serta sistem informasi, hingga instansi-instansi pengembangan pemerintah dan donor. Kebanyakan investasi didalam sektor keuangan, baik publik maupun swasta, harus memusatkan perhatian kepada pengembangan kapasitas ini.
11. Pentingnya transparansi keuangan dan jangkauan.
Informasi yang akurat, standar, dan informasi kinerja keuangan dan sosial yang dapat diperbandingkan dari lembaga-lembaga keuangan yang menyediakan pelayanan untuk orang miskin adalah sangat penting. Badan pengawas dan penyusun peraturan bank, donor, investor, dan lebih penting lagi, masyarakat miskin yang merupakan para pelanggan keuangan mikro membutuhkan informasi ini agar dapat menilai risiko dan hasilnya secara memadai.
UANG RECEHAN DIGANTI PERMEN???
eberapa waktu yang lalu saya melakukan transaksi di sebuah mini market yang cukup terkenal di daerah kabupaten bogor, waktu itu saya sedang membeli keperluan rumah tangga bersama dengan istri saya.
Pada saat kami membayar di depan kasir, kami diberikan kembalian beberapa uang kertas pecahan 20 ribu, 10 ribu, 5 ribu dan seribu, dan beberapa “permen”!
Merasa ada yang aneh, saya coba konfirmasi kepada kasir, kenapa saya diberikan kembalian “permen” tadi.
Dengan santai sang kasir menjawab : “Kita ga ada recehan pak.”
Masa iya, mini market se-terkenal itu tidak menyiapkan uang recehan kalau-kalau ada pembelian yang mengharuskan mereka untuk memberikan pengembalian dengan uang receh???
Saya pikir ini adalah bentuk mencari keuntungan yang sangat keliru!!
Mengganti uang pecahan 200 dan 100 dengan permen adalah suatu tindakan yang kurang menghargai mata uang negara sendiri.
Uang recehan ini diterbitkan oleh suatu institusi resmi di negara ini, yaitu : BANK INDONESIA, lalu kenapa harus digantikan dengan peran sebuah “PERMEN?”
Mudah-mudahan kita tidak terlibat dalam merendahkan mata uang kita sendiri, kita seharusnya menjadi orang yang sangat menghargai mata uang sendiri, sekalipun itu “UANG RECEH” yang mungkin sering kita temukan tercecer dijalanan, atau sering tidak kita anggap ada apa-apanya. Lebih dari itu, yang ingin saya sampaikan adalah bahwa sekecil apa pun itu, kita tetap harus mengahargai nya sebagai karya anak bangsa.
KEUANGAN MIKRO SEBAGAI SALAH SATU CARA EFEKTIF UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN DAN MENGGERAKKAN EKONOMI RAKYAT
Pada saat Gema PKM didirikan dengan suatu perayaan bersama Presiden RI di Istana Negara tanggal 10 Maret 2000, maka jika dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan pengembangan keuangan mikro terasa dibangun atas setidaknya kombinasi tiga maksud: untuk mengenal dan memperkenalkan LKM, membangun network diantara mereka yang “terkait” dengan LKM, serta mencari dan melaksanakan langkah-langkah berikutnya bagi pengembangan LKM. Ketiga aspek tersebut ditopang oleh motivasi dan peran serta setidaknya dari tiga kelompok “anggota” Gema PKM, yaitu kelompok yang yakin dengan arti penting dan peran LKM, khususnya dalam penanggulangan kemiskinan, diantaranya banyak yang juga telah mempraktekan pengembangan keuangan mikro secara langsung; kelompok yang melihat kemungkinan LKM sebagai salah satu alternatif dalam membantu masyarakat miskin menyelesaikan masalahnya; dan kelompok ‘campuran’ yang memiliki beragam motivasi.
Ketiga maksud yang mendasari pengembangan Gema PKM dan tiga bentuk motivasi anggota Gema PKM yang menyertainya merupakan cerminan atas pandangan mengenai keuangan mikro. Setelah tiga tahun perjuangan Gema PKM, terminologi dan arti penting “lembaga keuangan mikro” telah semakin dikenal oleh berbagai kalangan, juga telah disertakan – secara eksplisit maupun implisit – dalam berbagai dokumen resmi maupun dalam berbagai pemikiran, konsep, strategi, dan operasionalisasi penanggulangan kemiskinan dan pembangunan ekonomi rakyat. Lebih dari pada sekedar ‘mengenal’, telah banyak pula yang mencoba meyakinkan berbagai pihak bahwa apa yang dilakukannya adalah pengembangan LKM.
Dalam hal ini LKM sebenarnya telah jauh lebih ‘terkenal’ dan sudah ‘terkenal’ sejak lama. Namun umumnya pengenalan atau apresiasi itu terbatas pada mereka yang terlayani oleh LKM yang bersangkutan. Pengenalan LKM lebih diekspresikan sebagai “saya mengenal ‘LKM’ saya”. Kalaupun ada pengenalan diluar lingkup tersebut maka pengenalannya adalah terhadap beberapa kelembagaan keuangan mikro ‘terkemuka’, seperti BRI-UD, P4K, baitul-maal’, BPR, Pinbuk, arisan, dan sebagainya tanpa mengasosiasikan pemahaman bahwa lembaga-lembaga tersebut adalah sebuah lembaga keuangan mikro. Umumnya justru harus terdapat proses ‘penjelasan’ bahwa lembaga-lembaga terkenal itu adalah lembaga keuangan mikro, atau menjadikan lembaga-lembaga itu sebagai contoh untuk menjelaskan suatu lembaga keuangan mikro.
Keberadaan keuangan mikro tidak dapat dipisahkan dari usaha-usaha penanggulangan kemiskinan. Bahkan perhatian dan usaha untuk mengembangkan keuangan mikro terutama didasarkan pada motivasi untuk mempercapat usaha penanggulangan kemiskinan. Hal ini pulalah yang mendasari berbagai lembaga internasional bergerak langsung dalam kegiatan keuangan mikro maupun dalam pengembangan lembaga keuangan tersebut.
Keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha penanggulangan kemiskinan yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan kelompok miskin dan peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan, melalui :
¨ tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi,
¨ mengelola resiko dengan lebih baik,
¨ secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset,
¨ mengembangkan kegiatan usaha mikronya,
¨ menguatkan kapasistas perolehan pendapatannya, dan
¨ dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik.
Tanpa akses yang tetap pada lembaga keuangan (mikro), hampir selurulh rumah tangga miskin akan bergantung pada kemampuan pembiayaannya sendiri (yang sangat-sangat terbatas) atau pada kelembagaan keuangan informal (rentenir, tengkulak, pelepas uang)[2], yang membatasi kemampuan kelompok miskin berpartisipasi dan mendapat manfaat dari peluang pembangunan. Secara khusus keuangan mikro juga dapat menjadi jalan yang efektif dalam membantu dan memberdayakan perempuan, yang menjadi bagian terbesar dari masyarakat miskin sekaligus juga memiliki potensi dan peran besar untuk meningkatkan ekonomi keluarga jika mendapat kesempatan.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut, keuangan mikro pada gilirannya juga dapat memberikan kontribusi positif terhadap alokasi sumberdaya, promosi pemasaran, dan adopsi teknologi yang lebih baik. Dengan demikian, keuangan mikro membantu peningkatan ekonomi dan pembangunan, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin. Lebih dari pada itu keuangan mikro dapat memberikan kontribusi pada pengembangan sistem keuangan secara menyeluruh melalui integrasi pasar keuangan dan peningkatan jangkauan layanan yang selama ini tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional.
Dirangkum dari beberapa publikasi ADB.
Seperti telah dikemukakan diatas pengembangan LKM telah diyakini merupakan faktor penting dalam penanggulangan kemiskinan. Bahkan bagi banyak pihak pengembangan LKM merupakan bagian dari penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Padahal pengembangan keuangan mikro dapat pula diartikan sebagai usaha mengembangkan sistem keuangan (nasional dan lokal) yang lebih sesuai dengan kondisi rakyat yang riil (people based financial system), miskin ataupun tidak. Kedua aspek tersebut terkait erat satu dengan lainnya, walaupun pemberian fokus perhatian pada salah satunya sering menjadi strategi yang memang harus dilakukan. Strategi pengembangan keuanga mikro untuk kedua kepentingan diatas tampaknya sudah cukup jelas dan telah menjadi kesepakatan yang teruji dalam beberapa pembahasan. Strategi tersebut adalah :
1. Pengakuan dan Perlindungan. Hal ini diwujudkan melalui pengembangan kerangka regulasi (regulatory framework) bagi keuangan mikro. Keuangan mikro harus diakui, diapresiasi, dan dilindungi (baik LKMnya maupun publik yang terkait dengannya), serta dikeluarkan dari situasi sebagai lembaga yang “dibutuhkan tetapi ilegal”. Dalam konteks inilah LKM perlu menjadi bagian dari sistem keuangan nasional, yang didukung tidak hanya oleh suatu UU Keuangan Mikro tetapi juga berbagai perangkat hukum dan peraturan lainnya.
Catatan khusus bagi Indonesia yang telah memiliki keuangan mikro yang sangat beragam dan telah berperan sejak lama adalah bahwa ‘regulatory framework’ tersebut harus mampu memberikan apresiasi terhadap apa yang telah berkembang selama ini. Adanya perundang-undangan dan peraturan menyangkut keuangan mikro harus dicegah agar tidak menjungkir balikan semua yang ada dan menghilangkan kreativitas masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Oleh sebab itu pendekatan ‘voluntary legal framework’ tampaknya merupakan pendekatan yang sesuai.
2. Penguatan dan Peningkatan Kapasitas : Praktik dan Pengelolaan. Hal ini terkait dengan penguatan dan peningkatan kapasitas lembaga keuangan mikro melalui penyebaran informasi mengenai “best practices” yang digali baik dari pengalaman keuangan mikro di Indonesia sendiri maupun dari pengalaman di negara lain. Penguatan dan peningkatan kapasistas ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengembangan berbagai aspek usaha mikro lainnya (teknologi, manajemen, pemasaran, dll), dan juga perlu memperhatikan keragaman yang sudah berkembang hingga saat ini.
3. Penguatan dan Peningkatan Kapasitas : Sumberdaya Finansial. Hal ini dikaitkan dengan ketersediaan dana sekunder (dana bagi kegiatan LKM yang tidak berasal dari dalam LKM yang bersangkutan). Hal ini dapat dilakukan dengan mengadaan sumber dana sekunder khusus atau mengkaitkan LKM dengan lembaga keuangan lain yang sudah ada (perbanakan).
Kedua penguatan dan peningkatan diatas kemudian diarahkan untuk meningkatkan jangkauan (outreach) LKM dalam melayani masyarakat miskin, dan keduanya sangat terkait pula dengan pengembangan SDM dan pengembangan lembaga (human resource and institutional development).
Sebagai catatan penutup, sebagai bentuk refleksi efektivitas sebuah peran yang ditujukan untuk membantu masyarakat miskin kiranya perlu diterapkan suatu sikap yang rendah hati sekaligus meyakini sebuah harapan. Sebenarnya apa yang kita putuskan atau tidak-putuskan hari ini tidak akan berarti banyak bagi orang miskin besok atau bulan depan. Mereka tetap akan berusaha untuk ‘survive’ dengan caranya sendiri. Demikian juga dengan lembaga keuangan mikro, yang akan terus berkembang dan mengembangkan diri dengan kreativitas dan kemampuan mereka yang ada, terlepas apakah kita menganggapnya baik atau tidak. Apa yang kita putuskan, atau yang tidak kita putuskan hari ini mungkin akan berakibat bagi perkembangan keuangan mikro dalam jangka menengah atau jangka panjang. Oleh karenanya, harapan akan masa depan disertai kesabaran dan konsistensi akan menjadi komponen penting disamping ketepatan memilih langkah yang akan dilakukan.
MERAJUT KEBERSAMAAN DAN KEMANDIRIAN BANGSA MELALUI KEUANGAN MIKRO, UNTUK MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN MENGGERAKKAN EKONOMI RAKYAT
Dalam keheningan menatap situasi ke-Indonesiaan saat ini, akan membuat kita gamang. Dengan muram dan sedih kita harus mengatakan, realitas kekinian memang masih jauh dari harapan. Dihantam krisis multi dimensi, membuat kita jatuh tersungkur, bahkan seakan berada di titik nadir. Dan rasanya kita tak tahu akan diletakkan dimana wajah kita, bila dihadapkan founding fathers peletak pondasi nasion ini. Apalagi kini kita berpijak di bumi, di mana Sang Proklamator disemayamkan. Sosok Bapak Bangsa, seorang Nasionalis Tulen, Penyambung Lidah Rakyat yang mempunyai reputasi terhormat di kancah dunia.
Situasi yang kini kita alami, memang menggelisahkan. Rasanya, siapapun tak akan tenang hatinya menyaksikan sekitar 38 juta penduduk masih bergulat dalam kemiskinan. Jeritan tanpa suara (voice of the voiceless) itu, terasa menyayat sanubari, membuat kita bergegas ingin mengulurkan tangan. Namun, apakah mereka membutuhkan bantuan seperti yang kita pikirkan ? Pengalaman menunjukkan, bila bantuan yang kita berikan salah, justru akan mematikan kemandirian, inisiatif dan menimbulkan ketergantungan. oleh karena itu, mari kita “mencari tahu” siapakah si miskin itu ?
Apakah orang miskin malas dan tak mau bekerja ? Tentu tidak. Bila mereka tak mau bekerja, tentunya tak bisa mempertahankan hidup. Lalu, apakah mereka the have not ? Tentu juga bukan. Mereka adalah the have little, mereka memiliki sesuatu meski sedikit. Entah tenaga, tradisi gotong royong, tanah, famili dll. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja (keras), namun produktifitasnya sangat rendah. Acapkali jam kerjanya tak terbatas, namun penghasilannya tetap minim, usahanya kurang berkembang dan hanya bertahan pada tingkat subsistensi.
Orang miskin yang aktif bekerja ini dalam terminologi World Bank disebut economically active poor atau pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha (Tambunan, 2002).
Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development through equity.
Disamping mengakomodasi pemerataan seperti disebut di atas, mengembangkan kelompok usaha ini secara riil strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda.
Melihat peran dari usaha mikro yang sangat strategis, timbul pertanyaan mengapa usaha ini kebanyakan sulit berkembang. Untuk menelusuri hal tersebut, tabel di bawah ini akan menunjukkan berbagai persoalan yang menjerat para pengusaha mikro. Bagi pengusaha mikro, persoalan permodalan (aksesibilitas terhadap modal) ternyata merupakan masalah yang utama.
Jenis Kesulitan Usaha Mikro
1. Kesulitan modal (Jenis Kesulitan)
34.55% (IKR)
44.05% (IK)
2. Pengadaan bahan baku (Jenis Kesulitan)
20.14% (IKR)
12.22% (IK)
3. Pemasaran (Jenis Kesulitan)
31.70% (IKR)
34.00% (IK)
4. Kesulitan lainnya (Jenis Kesulitan)
13.6% (IKR)
9.73% (IK)
Ket:
IKR: Industri Kecil Rumah Tangga , IK: Industri Kecil
Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh (undeserved) dan tidak dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak layak bank (not bankable) karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan modal apa adanya yang mereka miliki. Tabel data di bawah ini akan memperlihatkan realitas tersebut.
Mengapa Keuangan Mikro ?
Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di Indonesia sendiri hal itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun lalu pun sudah mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum baru, yaitu dengan adanya Microcredit Summit (MS) yang diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997.
MS merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak negara. MS juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan keragaan keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat (perekonomian rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar 600 juta jiwa).
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka.
Dalam mengembangkan keuangan mikro untuk melayani masyarakat miskin (economically active poor) tersebut, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan :
Banking of the poor
Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance, dimana mobilisasi keuangan mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership base, dimana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dll.
Banking with the poor
Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan yang telah ada, baik kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas bersifat informal atau yang sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta lembaga keuangan formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda itu, diupayakan untuk diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat simbiose mutualisme, atau saling menguntungkan. Pihak bank akan mendapat nasabah yang makin banyak (outreaching), sementara pihak masyarakat miskin akan mendapat akses untuk mendapatkan financial support. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan pola yang sering disebut Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK).
Banking for the poor
Bentuk ini mendasarkan diri atas credit led institution dimana sumber dari financial support terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat miskin, namun memperoleh dari sumber lain yang memang ditujukan untuk masyarakat miskin. Dengan demikian tersedia dana cukup besar yang memang ditujukan kepada masyarakat miskin melalui kredit. Contoh bentuk ini adalah : Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Grameen Bank, ASA, dll.
Bentuk pertama (Banking of the poor) menekankan pada aspek pendidikan bagi masyarakat miskin, serta melatih kemandirian. Bentuk ketiga (Banking for the poor) menekankan pada penggalangan resources yang dijadikan modal (capital heavy), yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Sedangkan bentuk kedua (Banking with the poor) lebih menekankan pada fungsi penghubung (intermediary) dan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada.
Keuangan Mikro dan Dua Generasi Pembangunan
Upaya penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi rakyat tidak dapat tidak terkait dengan praktek pembangunan yang dilakukan selama ini yang melalui krisis ekonomi telah memaparkan kelemahan dan kegagalannya. Proses pembangunan di Indonesia seperti di banyak negara berkembang lainnya, pada awalnya menyikapi persoalan kemiskinan (termasuk didalamnya ekonomi rakyat) dengan melihatnya sebagai keadaan sementara yang dalam proses pembangunan lebih lanjut akan secara otomatis menghilang melalui proses trickle down effect. Untuk membantu rakyat miskin bertahan dalam kemiskinannya sampai tiba waktunya kue pembangunan menetes pada mereka, disediakanlah berbagai bantuan kepada mereka.
Format bantuan ini sangat beraneka ragam mulai dari penyediaan berbagai kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, kesehatan, maupun pendidikan sampai bantuan teknis dan hibah peralatan serta modal. Pendekatan yang sering disebut sebagai pendekatan pembangunan generasi pertama ini harus diakui telah mampu meningkatkan berbagai indikator sosial secara signifikan. Namun harus diakui pula pendekatan ini telah menimbulkan berbagai persoalan seperti berkembangnya sikap ketergantungan dan melemahnya berbagai modal sosial yang dimiliki masyarakat, tidak diselesaikannya akar masalah penyebab kemiskinan yaitu ketimpangan distribusi dan akses terhadap sumber daya ekonomi, masih dipinggirkannya peran perempuan, dan semakin melebarnya jurang perbedaan antara mereka yang diuntungkan dalam kebijakan perekonomian yang diambil dengan rakyat miskin secara keseluruhan.
Pada sisi lain, pendekatan pembangunan generasi pertama membutuhkan biaya yang amat besar dan harus ditanggung oleh negara yang dalam kenyataannya semakin lama semakin jauh diluar kemampuan negara untuk membiayai sendiri. Sebagai akibatnya, seperti dalam kasus Indonesia berbagai program pembangunan semakin lama semakin tergantung pada negara dan pembiayaannya semakin mengandalkan pinjaman luar negeri.
Belajar dari pengalaman generasi pertama, pendekatan pembangunan generasi kedua mulai menggunakan keuangan mikro sebagai metode utamanya. Kontribusi dari pendekatan generasi kedua ini adalah: 1) diversifikasi pelaku utama pembangunan, 2) pembiayaan pembangunan yang menggunakan sumber-sumber keuangan dari masyarakat sendiri, 3) semakin pentingnya peran perempuan, 4) pendekatan pembangunan yang memiliki potensi untuk berlanjut (sustainable).
Pendekatan pembangunan generasi pertama yang menumpukan inisiatif pembangunan pada pemerintah telah memiliki dampak yang kurang menguntungkan pada dua arah. Pada sisi pemerintah beban pembangunan yang sebelumnya tersebar pada berbagai kelompok masyarakat mengerucut dan menjadi beban pemerintah sendiri. Sementara pada masyarakat, pengambiloperan berbagai kegiatan pembangunan oleh pemerintah telah mengembangkan sikap apatis dan ketergantungan yang semakin lama semakin besar.
Kelompok masyarakat yang dalam generasi pertama diandalkan oleh pemerintah menjadi lokomotif pembangunan yaitu sektor usaha besar dan konglomerasi telah mendominasi baik pertumbuhan ekonomi, pangsa pasar maupun produk domestik bruto (PDB)[3], akan tetapi dominasi itu ternyata tidak diikuti pengelolaan internal perusahaan yang baik (good corporate governance). Berbagai fasilitas dan perlakuan khusus yang disediakan pemerintah sebagai upaya mengakselerasi pertumbuhan mereka ternyata dalam kenyataannya justru banyak disalahgunakan serta mendorong berbagai tindakan yang tidak sepantasnya (misconduct).
Ambruknya sektor usaha besar dan konglomerasi menimbulkan efek domino pada ekonomi Indonesia yang strukturnya memang sudah timpang. Pelajaran lain yang diambil dari itu adalah eksisnya sektor ekonomi rakyat yang selama ini dimarjinalisasi ternyata mampu menjadi bantal penyelamat ekonomi nasional. Menjadi kesadaran bersama bahwasanya kedepan sektor ekonomi rakyat perlu mendapatkan perlakuan yang sepantasnya dan sewajarnya sebagai alternatif pelaku ekonomi nasional.
Pengambiloperan inisiatif pembangunan membuat biaya pembangunan menjadi terkonsentrasi pada pemerintah. Beban yang semakin lama semakin besar ini tidak dipenuhi melalui sumber-sumber pembiayaan dalam negeri melainkan menggunakan sumber pembiayaan luar negeri yang pada gilirannya mendorong munculnya ketergantungan yang semakin besar. Kebijakan yang ditempuh tersebut kurang memberikan apresiasi terhadap kenyataan bahwa didalam negeri terdapat sumber dana yang memadai. Kenyataan bahwa dari seluruh dana yang dihimpun dari masyarakat melalui perbankan (kasus BRI) hanya kurang dari separuh yang dimanfaatkan untuk memberikan pembiayaan usaha melalui kredit menegaskan kebijakan tersebut. Pendekatan keuangan mikro dalam generasi kedua membuka pemikiran bahwa pembiayaan pembangunan dapat dilakukan secara komersial menggunakan sumber dana dalam negeri yaitu tabungan masyarakat.
Peran perempuan selama beberapa waktu kurang mendapatkan tempat yang sepantasnya meskipun sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa. Pengalaman praktek keuangan mikro di berbagai tempat ternyata memberikan bukti yang berbeda. Kaum perempuan justru merupakan kelompok yang proaktif dan handal dalam mengelola ekonomi rumah tangga dan memanfaatkan peluang ekonomi secara optimal. Kaum perempuan juga memberikan dampak berganda (multipler effect) yang lebih besar dari intervensi pembangunan yang dilakukan karena berbagai persoalan keluarga seperti gizi keluarga, kesehatan keluarga, pendidikan anak, dan sebagainya secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak.
Pendekatan proyek yang selama generasi pertama pembangunan dikembangkan, dalam kenyataannya sebagian besar tidak berlanjut. Pendekatan proyek ini memiliki beberapa karakteristik, yaitu: adanya batasan waktu, bekerja berdasarkan budget yang sudah dialokasikan, serta tidak diketahui tindak lanjutnya. Batasan waktu yang melekat pada pendekatan proyek seringkali meniadakan hasil-hasil yang telah dicapai oleh proyek itu sendiri. Hal ini terjadi karena persoalan kemiskinan adalah persoalan komplek yang penanganannya tidak bisa instant result dan karenanya membutuhkan komitmen yang panjang.
Pendekatan proyek yang hanya bekerja berdasarkan alokasi budget dalam pengalaman lapangan tidak bisa menarik sumber-sumber pendanaan lain dalam jumlah yang signifikan yang bisa menjamin keberlanjutan dari proyek. Proyek bekerja untuk menghabiskan alokasi yang sudah ditentukan dan tidak perlu mempertimbangkan apakah dana yang sudah dihabiskan akan kembali atau tidak (meskipun dana tersebut adalah dana pinjaman).
Kenyataan menunjukkan berbagai proyek juga tidak pernah mempertimbangkan kondisi pasca proyek. Apa yang akan terjadi apabila berbagai pelayanan dan bantuan menghilang? Siapa yang akan bertanggung jawab meneruskan kegiatan yang sudah dimulai? Hal-hal tersebut menjadi persoalan pada pendekatan proyek. Dalam generasi kedua, berbagai inisiatif pembangunan meletakkan persoalan keberlanjutan pada prioritas pertama. Sebagai konsekuensinya, pendekatan proyek mulai digantikan dengan pendekatan sistem dan kebijakan yang memang pada satu sisi menuntut pemerintah untuk secara bertahap mentransformasi perannya dari pelaksana berbagai proyek menjadi fasilitator dan berkonsentrasi pada penyusunan sistem dan kebijakan yang pro ekonomi rakyat. Sementara pada sisi lain, pelaku-pelaku pembangunan perlu diberdayakan untuk bertanggung jawab mengambil peran yang lebih besar.
Merajut Kebersamaan dan Membangun Kemandirian Bangsa
Dalam konteks pembangunan generasi kedua, menggalang kerjasama berbagai pihak (stakeholders) dalam masyarakat adalah hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah forum (wadah) kebersamaan para pelaku yang mempunyai keterkaitan untuk pengembangan usaha rakyat sehingga bisa saling berkomunikasi, saling memahami, membentuk jaringan, dan bekerjasama secara saling menguntungkan.
Salah satu alternatif yang telah dilakukan dalam pengalaman kami adalah pembentukan Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia. Gema PKM ini adalah sebuah forum stakeholder yang terdiri dari institusi pemerintah, lembaga keuangan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, akademisi (perguruan tinggi) dan lembaga penelitian, sektor usaha, sektor bisnis, media massa, dan kelompok swadaya masyarakat (masyarakat miskin).
Dari pengalaman yang telah kami alami, dengan adanya interaksi, komunikasi, saling belajar dan mengajar, serta saling memahami satu sama lain, maka akan terjadi pembelajaran masing-masing dan kerjasama yang saling menguntungkan. Banyak persoalan yang akhirnya dapat dipecahkan sendiri diantara para pihak yang berkaitan dengan adanya interaksi dan komunikasi yang intensif.
Dan dari refleksi perjalanan yang telah kami alami, untuk membantu mereka yang miskin dan lemah melalui semacam terbentuknya semacam forum ini, niat baik saja tidaklah cukup. Ternyata dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ketahanan bergumul dengan berbagai kerumitan, namun tetap harus fokus pada tujuan. Dan salah satu kunci keberhasilan dari forum semacam ini adalah partisipasi dan sikap pro aktif dari para stakeholder sendiri.
Dan sebagai catatan penutup, apa yang kita putuskan atau tidak-putuskan hari ini tidak akan berarti banyak bagi orang miskin (pengusaha mikro) besok atau bulan depan. Mereka tetap akan berusaha untuk ‘survive’ dengan caranya sendiri. Namun apa yang kita putuskan, atau yang tidak kita putuskan hari ini mungkin akan berakibat bagi perkembangan ekonomi rakyat (usaha mikro) dalam jangka menengah atau jangka panjang.
Namun yang jelas, kita telah “berhutang” kepada para founding fathers, untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan, yaitu berdaulat dalam bidang politik, berkepribadian dalam bidang kebudayaan dan mandiri dalam bidang ekonomi. Tetapi setiap generasi mempunyai pilihannya sendiri, apakah kita akan memperjuangkan hal itu, tentu tergantung pada diri kita sendiri. Namun yang jelas, setiap pilihan merupakan cerminan dari sebuah sikap. Inilah yang akan memperlihatkan apakah kita akan menjadi bangsa yang besar dan mandiri, ataukah memang kita adalah bangsa yang lemah dan hanya menjadi peminta-minta. Inilah tantangan generasi kita sekarang.
Pengalaman Seorang Pengusaha
Ibu Sri (bukan nama sebenarnya), berumur sekitar 40 tahun, tinggal di desa Sragen (Jawa Tengah), adalah seorang pengusaha warung makan sederhana. Pada suatu hari terpaksa meminjam uang sejumlah Rp 1 juta dari pelepas uang (atau lebih dikenal sebagai rentenir). Tiap bulan dia harus membayar Rp 100.000, tetapi pinjaman tersebut tidak pernah lunas, sebab bunganya 10% sebulan. Jadi Rp 100.000 yang dia angsur selama ini hanya bunganya saja, sementara untuk pokoknya tidak pernah lunas. Kemudian atas ajakan kawannya, dia bergabung dalam suatu kelompok ibu-ibu para pengusaha mikro lainnya, yang lebih dikenal dengan istilah KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Setelah kelompoknya dipandang cukup solid, oleh pendampingnya diberi kesempatan untuk mulai meminjam ke Lembaga Keuangan Mikro, masing-masing Rp 1 juta. Oleh Ibu Sri pinjaman tersebut digunakan untuk membayar lunas semua hutangnya pada pelepas uang. Kemudian setiap bulannya Ibu Sri tetap membayar Rp 100.000 kepada kelompoknya, dan setelah 12 kali angsuran hutangnya dinyatakan lunas. Ibu Sri sangat bersyukur dan sejak itu penghasilannya meningkat dengan Rp 100.000 setiap bulannya, karena pinjamannya sudah lunas.
Itulah keuangan mikro, dengan Rp 1 juta, dapat mengubah kehidupan Ibu Sri dan keluarganya. Ia memang tidak mempunyai akses ke Lembaga Keuangan seperti bank, sebab tak punya agunan maupun tabungan. Satu-satunya akses adalah ke para pelepas uang, dan itu berarti ia akan menjadi miskin seumur hidupnya, karena tingginya bunga pinjaman (10 – 20 % setiap bulan). Berapa banyak orang-orang seperti Ibu Sri di Indonesia? Yaitu orang-orang miskin, tetapi punya usaha yang sangat kecil (makanya disebut usaha mikro). Menurut data dari PNM (Permodalan Nasional Madani), jumlah pengusaha mikro di Indonesia ada 34,5 juta unit, dan dengan keluarganya (istri, suami, anak-anak) rata-rata 4 orang menjadi 34,5 x 4 = 138 juta jiwa, yang berarti lebih dari setengah penduduk Indonesia. Apakah mereka miskin? Umumnya begitu. Kriterianya apa? Nah, di sinilah kita belum pernah punya kesepakatan bersama, dan perdebatan serta adu argumentasi masih berlangsung terus. Masing-masing institusi memakai kriteria yang berbeda-beda, sehingga angka-angka kemiskinan selalu simpang siur. Secara global, ada semacam pengertian tentang kemiskinan yang dapat diterima dan dimengerti satu sama lain, yaitu apabila penghasilannya kurang dari: US$ 1 per hari per orang. Jadi satu keluarga dengan anggota suami, istri dan 2 anak, perlu punya penghasilan 4 X US$1 X Rp 10.000 = Rp40. 000/ hari atau Rp 1.200.000 sebulan, agar tidak tergolong miskin. Wah, kalau begitu angka kemiskinan akan jadi besar sekali? Belum tentu, asalkan usaha-usaha mikro, baik di desa-desa maupun di sekitar kota besar (daerah urban) dapat tumbuh baik.
Mari kita lihat pengalaman Ibu Sari di Desa Parung Bogor. Suaminya bekerja sebagai pengemudi, dan dia sendiri sebagai pedagang sayur mayur keperluan sehari-hari, bertempat di rumahnya. Setiap pagi, ketika orang lain masih nyenyak tidur, pada jam 02.00 sampai 04.00, dengan ditemani suaminya dia belanja sayur mayur di pasar Parung. Dia memilih sayur dan makanan sehari-hari, dengan ragam dan jumlah yang kira-kira akan habis terjual hari itu juga. Biasanya dia membelanjakan sekitar Rp 500.000 sampai Rp 600.000 setiap hari, yang terdiri dari: ayam 7 ekor, daging 2 kg, ikan 10 ekor, tempe 70 potong, tahu 200 potong dan sayur mayur lengkap untuk membuat; sambal-sambalan, sayur sop, sayur asem, sayur lodeh dan lain-lain. Dia menjualnya dengan harga cukup ringan (kompetitif istilah kerennya), seperti: sambalan Rp 1.000, sop Rp 1000, sayur asem Rp 1.500, sayur lodeh Rp 2.000. Sisa yang tidak laku dimakan sendiri, atau diberikan kepada orang-orang yang kurang beruntung sebagai sedekah, sebab tidak dapat dijual kembali keesokan harinya. Tetapi kalau ayam, oleh Ibu Sari diberi bumbu, dan dijual sebagai ayam kuning keesokan harinya. Setiap hari penjualannya mencapai rata-rata Rp 700.000, dan masih ada yang menjadi piutang, karena langganannya ada yang penghasilannya bulanan, sehingga baru bisa membayar pada akhir bulan. Tetapi keluarga ini tidak mau menganggap mereka berpenghasilan Rp 2 juta per bulan. Tetapi mereka lebih memilih menganggap penghasilan bersihnya Rp 40.000 sehari, sebab suami dan kedua anaknya mengambil masing-masing Rp 10.000 sehari, dan belanja keperluan rumah tangga lainnya. Mereka mensyukuri Rp 40.000/hari bersih, dari pada menganggap penghasilannya sekitar Rp 2 juta sebulan. Tetapi penghasilan mereka melebihiUS$ 1 per orang per hari. Sehingga mereka bukan tergolong miskin.
Usaha mikro memiliki laba atau profit margin yang cukup tinggi. Sebagai contoh pedagang sayur keliling di komplek-komplek perumahan. Harga tempe di pasar Rp 500, di komplek perumahan bisa mencapai Rp 1.500 – tiga kali lipat. Sayur kangkung di pasar 1 ikat = Rp 250, di gedongan bisa mencapai Rp 1.000 – empat kali lipat. Namun pelanggannya puas, karena tidak usah repot pergi ke pasar atau supermarket dan boleh beli secukupnya saja, jadi “win-win”. Bagi usaha mikro, yang terpenting bukan bunga pinjaman yang rendah, tetapi akses ke lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman tanpa agunan dan prosedurnya mudah serta dananya dapat dicairkan tepat waktu dan tepat jumlah. Pinjaman dana itu pada umumnya dibutuhkan untuk tambahan modal kerja. Mengapa diperlukan? Karena harga-harga naik dari waktu ke waktu, maka modal kerja yang ada tidak mencukupi lagi untuk membeli jumlah barang dagangan yang sama banyaknya. Apalagi kalau hasilnya menurun, masih terpakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga modal kerjanya makin susut lagi. Disinilah keuangan mikro berperan untuk menyelamatkan mereka dari kemiskinan. Kalau modal kerjanya sudah cukup, maka kebutuhan mendesak lainnya akan menyusul, misalnya biaya sekolah anak-anak. Mereka tahu betul tanggung jawabnya sebagai orang tua, untuk memberikan pendidikan yang sebaik mungkin bagi anak-anaknya yang tercinta.
Nah, tanpa terasa kita telah menceritakan banyak aspek tentang keuangan mikro, serta peranannya dalam mengentaskan kemiskinan. Tetapi apakah para pembaca juga telah menangkap dan mengerti sama seperti yang saya mengerti? Barangkali masih ada yang belum sepenuhnya mengerti, maka baiklah tulisan ini diakhiri dengan ringkasan-ringkasan sebagai berikut:
Keuangan mikro adalah suatu alternatif yang amat dibutuhkan bagi usaha mikro, karena mereka tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal: Bank, BPR (Bank Perkreditan Rakyat).
Dalam Keuangan mikro, para pihak yang terkait adalah:
a. Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang menyediakan dana yang berkesinambungan dan makin besar dananya.
b. Lembaga Pendampingan Usaha Mikro (LPUM), yang secara berkelanjutan mendampingi kelompok usaha mikro maupun satu persatu anggota kelompok
c. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), yang membentuk kelompoknya sesuai dengan kebutuhan mereka dan terdiri dari anggota-anggota yang mereka kenal satu sama lain termasuk usaha-usahanya yang beraneka rupa. Berkelompok itu penting karena:
Ø Motivasi dan spirit berusaha dapat terpelihara dengan baik, dan mereka dapat belajar satu sama lain.
Ø Pada kelompok yang solid, dapat diterapkan sistem “tanggung renteng”. Sistem ini sebagai pengganti kolateral (dikenal sebagai collateral substitute), sehingga resiko tidak membayar kembali pinjaman, menjadi kecil.
Ø Kebiasaan menabung dapat dibina dengan baik serta dikembangkan. Dan apabila jumlah tabungan sudah memadai, anggota dapat meminjam dari kelompoknya. Kemudian kelompok yang jumlah tabungannnya sudah besar (Ada kelompok yang jumlah tabungannya lebih dari Rp 30 juta, lho!) melebihi kebutuhan anggota kelompok mereka, dapat menjadi Lembaga Keuangan Mikro yang melayani kebutuhan dari kelompok yang lain.
d. Dengan berkelompok, maka biaya transaksi bagi LKM dan LPUM menjadi ringan. Pelayanan secara individual kepada usaha mikro akan memerlukan transactin cost yang tinggi sekali.
e. Dengan sistem seperti tertsebut di atas, maka para pihak, yaitu: LKM, LPUM, dan KSM beserta anggotanya, dapat berjalan secara berkesinambungan (sustainable) dan mandiri. Alangkah indahnya.
f. Dengan demikian keuangan mikro dapat berperan untuk mengentaskan kemiskinan, tidak untuk semua kemiskinan, tetapi hanya sebatas pada orang-orang miskin yang punya usaha (enomically active poor). Tetapi jangan lupa, jumlah usaha mikro ini besar sekali. Kemiskinan yang lain seperti: orang-orang tua jompo, para penganggur, anak-anak terlantar, harus diatasi dengan cara-cara efektif yang lain.
g. Aspek lain dari keuangan mikro adalah kemampuannya untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Coba bayangkan kalau dalam satu desa ada 70 kelompok dengan jumlah anggota seluruhnya 1500 KK dan masing-masing menerima pinjaman rata-rata Rp 1 juta, maka ada dana Rp 1,5 milyar, dan uang tersebut dibelanjakan untuk barang-barang dagangan, baik hasil pertanian maupun hasil industri, maka perekonomian di desa tersebut akan bergerak memutar roda perekonomian yang akan terus mempunyai efek beranting (multiplier effect) sampai pada perekonomian nasional. Itu baru satu desa. Kalau ada 1000 desa, maka dana Rp 1,5 triliun dampaknya bagi perekonomian di desa-desa dan dampaknya secara nasional pasti akan dirasakan.
Prinsip Dasar Keuangan Mikro 5C 4P
Tujuan utama analisis premohonan kredit adalah untuk memperoleh keyakinan apakah nasabah mempunyai kemauan dan kemampuan memenuhi kewajibannya kepada bank secara tertib, baik pembayaran pokok pinjaman maupun bunganya, sesuai dengan kesepakatan dengan bank.hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyelesaian kredit nasabah, terlebih dahulu harus terpenuhinya Prinsip 6 C’s Analysis, yaitu sebagai berikut:
1. Character
2. Capital
3. Capacity
4. Collateral
5. Condition
Berikut penjelasan dari kelima prinsip diatas
1. Character
Character adalah keadaan watak dari nasabah, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha. Kegunaan dari penilaian terhadap karakter ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana kemauan nasabah untuk memenuhi kewajibannya (willingness to pay) sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan.
Sebagai alat untuk memperoleh gambaran tentang karakter dari calon nasabah tersebut, dapat ditempuh melalui upaya antara lain:
a. Meneliti riwayat hidup calon nasabah;
b. Meneliti reputasi calon nasabah tersebut di lingkungan usahanya;
c. Meminta bank to bank information (Sistem Informasi Debitur);
d. Mencari informasi kepada asosiasi-asosiasi usaha dimana calon nasabah berada;
e. Mencari informasi apakah calon nasabah suka berjudi;
f. Mencari informasi apakah calon nasabah memiliki hobi berfoya-foya.
2. Capital
Capital adalah jumlah dana/modal sendiri yang dimiliki oleh calon nasabah. Semakin besar modal sendiri dalam perusahaan, tentu semakin tinggi kesungguhan calon nasabah dalam menjalankan usahanya dan bank akan merasa lebih yakin dalam memberikan kredit. Modal sendiri juga diperlukan bank sebagai alat kesungguhan dan tangung jawab nasabah dalam menjalankan usahanya karena ikut menanngung resiko terhadap gagalnya usaha.dalam praktik, kemampuan capital ini dimanifestasikan dalam bentuk kewajiban untuk menyediakan self-financing, yang sebaiknya jumlahnya lebih besar daripada kredit yang dimintakan kepada bank.
3. Capacity
Capacity adalah kemampuan yang dimiliki calon nasabah dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan. Kegunaan dari penilaian ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana calon nasabah mampu untuk mengembalikan atau melunasi utang-utangnya secara tepat waktu dari usaha yang diperolehnya.
Pengukuran capacity tersebut dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan berikut ini:
a. Pendekatan historis, yaitu menilai past performance, apakah menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu.
b. Pendekatan finansial, yaitu menilai latar belakang pendidikan para pengurus
c. Pendekatan yuridis, yaitu secara yuridis apakah calon nasabah mempunyai kapasitas untuk mewakili badan usaha yang diwakilinya untuk mengadakan perjanjian kredit dengan bank.
d. Pendekatan manajerial, yaitu menilai sejauh mana kemampuan dan keterampilan nasabah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam memimpin perusahaan.
e. Pendekatan teknis, yaitu untuk menilai sejauh mana kemampuan calon nasabah mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan-peralatan , administrasi dan keuangan, industrial relation sampai pada kemampuan merebut pasar.
4. Collateral
Collateral adalah barang-barang yang diserahkan nasabah sebagai agunan terhadap kredit yang diterimanya. Collateral tersebut harus dinilai oleh bank untuk mengetahui sejauh mana resiko kewajiban finansial nasabah kepada bank. Pada hakikatnya bentuk collateral tidak hanya berbentuk kebendaan tetapi juga collateral yang tidak berwujud seperti jaminan pribadi (borgtocht), letter of guarantee, letter of comfort, rekomendasi dan avalis.
5. Condition of Economy
Condition of Economy, yaitu situasi dan kondisi politik , sosial, ekonomi , budaya yeng mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat yang kemungkinannya memengaruhi kelancaran perusahaan calon debitur. Untuk mendapat gambaran mengenai hal tersebut, perlu diadakan penelitian mengenai hal-hal antara lain:
a. Keadaan konjungtur
b. Peraturan-peraturan pemerintah
c. Situasi, politik dan perekonomian dunia
d. Keadaan lain yang memengaruhi pemasaran
6. Constraint
Constraint adalah batasan dan hambatan yang tidak memungkinkan suatu bisnis untuk dilaksankan pada tempat tertentu, misalnya pendirian suatu usaha pompa bensin yang disekitarnya banyak bengkel las atau pembakaran batu bata.
Dari keenam prinsip diatas, yang paling perlu mendapatkan perhatian account officer adalah character, dan apabila prinsip ini tidak terpenuhi, prinsip lainnya tidak berarti. Dengan perkataan lain, permohonannya harus ditolak.
UNDANG UNDANG KOPERASI NOMOR 25 TAHUN1992
UNDANG-UNDANG KOPERASI
NOMOR 25 TAHUN1992
TENTANG
PERKOPERASIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam tata perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi;
b. bahwa Koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip Koperasi sehingga mampu berperan sebagai sokoguru perekonomian nasional;
c. bahwa pembangunan Koperasi merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dan seluruh rakyat;
d. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut dan menyelaraskan dengan perkembangan keadaan, perlu mengatur kembali ketentuan tentang perkoperasian dalam suatu Undang-undang sebagai pengganti Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKOPERASIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan Koperasi.
3. Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang.
4. Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi.
5. Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi Koperasi dan kegiatan perkoperasian yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama Koperasi.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Bagian Pertama
Landasan dan Asas
Pasal 2
Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta berdasar atas asas kekeluargaan.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
BAB III
FUNGSI, PERAN, DAN PRINSIP KOPERASI
Bagian Pertama
Fungsi dan Peran
Pasal 4
Fungsi dan peran Koperasi adalah:
a. membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya;
b. berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat;
c. memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan Koperasi sebagai sokogurunya;
d. berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Bagian Kedua
Prinsip Koperasi
Pasal 5
(1) Koperasi melaksanakan prinsip Koperasi sebagai berikut:
a. keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;
b. pengelolaan dilakukan secara demokratis;
c. pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;
d. pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
e. kemandirian.
(2) Dalam mengembangkan Koperasi, maka Koperasi melaksanakan pula prinsip Koperasi sebagai berikut:
a. pendidikan perkoperasian;
b. kerja sama antarkoperasi.
BAB IV
PEMBENTUKAN
Bagian Pertama
Syarat Pembentukan
Pasal 6
(1) Koperasi Primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (duapuluh) orang.
(2) Koperasi Sekunder dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) Koperasi.
Pasal 7
(1) Pembentukan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan dengan akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar.
(2) Koperasi mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 8
Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. daftar nama pendiri;
b. nama dan tempat kedudukan;
c. maksud dan tujuan serta bidang usaha;
d. ketentuan mengenai keanggotaan;
e. ketentuan mengenai Rapat Anggota;
f. ketentuan mengenai pengelolaan;
g. ketentuan mengenai permodalan;
h. ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya;
i. ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usaha;
j. ketentuan mengenai sanksi.
Bagian Kedua
Status Badan Hukum
Pasal 9
Koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Pemerintah.
Pasal 10
(1) Untuk mendapatkan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, para pendiri mengajukan permintaan tertulis disertai akta pendirian Koperasi.
(2) Pengesahan akta pendirian diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan pengesahan.
(3) Pengesahan akta pendirian diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 11
(1) Dalam hal permintaan pengesahan akta pendirian ditolak, alasan penolakan diberitahukan kepada para pendiri secara tertulis dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan.
(2) Terhadap penolakan pengesahan akta pendirian para pendiri dapat mengajukan permintaan ulang dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya penolakan.
(3) Keputusan terhadap pengajuan permintaan ulang diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya pengajuan permintaan ulang.
Pasal 12
(1) Perubahan Anggaran Dasar dilakukan oleh Rapat Anggota.
(2) Terhadap perubahan Anggaran Dasar yang menyangkut penggabungan, pembagian, dan perubahan bidang usaha Koperasi dimintakan pengesahan kepada Pemerintah.
Pasal 13
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengesahan atau penolakan pengesahan akta pendirian, dan perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Untuk keperluan pengembangan dan/atau efisiensi usaha, satu Koperasi atau lebih dapat:
a. menggabungkan diri menjadi satu dengan Koperasi lain, atau
b. bersama Koperasi lain meleburkan diri dengan membentuk Koperasi baru.
(2) Penggabungan atau peleburan dilakukan dengan persetujuan Rapat Anggota masing-masing Koperasi.
Bagian Ketiga
Bentuk dan Jenis
Pasal 15
Koperasi dapat berbentuk Koperasi Primer atau Koperasi Sekunder.
Pasal 16
Jenis Koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya.
BAB V
KEANGGOTAAN
Pasal 17
(1) Anggota Koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi.
(2) Keanggotaan Koperasi dicatat dalam buku daftar anggota.
Pasal 18
(1) Yang dapat menjadi anggota Koperasi ialah setiap warga negara Indonesia yang mampu melakukan tindakan hukum atau Koperasi yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
(2) Koperasi dapat memiliki anggota luar biasa yang persyaratan, hak, dan kewajiban keanggotaannya ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 19
(1) Keanggotaan Koperasi didasarkan pada kesamaan kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha Koperasi.
(2) Keanggotaan Koperasi dapat diperoleh atau diakhiri setelah syarat sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dipenuhi.
(3) Keanggotaan Koperasi tidak dapat dipindahtangankan.
(4) Setiap anggota mempunyai kewajiban dan hak yang sama terhadap Koperasi sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 20
(1) Setiap anggota mempunyai kewajiban: a.mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan yang telah disepakati dalam Rapat Anggota; b.berpartisipasi dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh Koperasi; c.mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Setiap anggota mempunyai hak:
a. menghadiri, menyatakan pendapat, dan memberikan suara dalam Rapat Anggota;
b. memilih dan/atau dipilih menjadi anggota Pengurus atau Pengawas;
c. meminta diadakan Rapat Anggota menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar;
d. mengemukakan pendapat atau saran kepada Pengurus diluar Rapat Anggota baik diminta maupun tidak diminta;
e. memanfaatkan Koperasi dan mendapat pelayanan yang sama antara sesama anggota;
f. mendapatkan keterangan mengenai perkembangan Koperasi menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar.
BAB VI
PERANGKAT ORGANISASI
Bagian Pertama
Umum
Pasal 21
Perangkat organisasi Koperasi terdiri dari:
a. Rapat Anggota;
b. Pengurus;
c. Pengawas.
Bagian Kedua
Rapat Anggota
Pasal 22
(1) Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.
(2) Rapat Anggota dihadiri oleh anggota yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 23
Rapat Anggota menetapkan:
a. Anggaran Dasar;
b. kebijaksanaan umum dibidang organisasi manajemen, dan usaha Koperasi;
c. pemilihan, pengangkatan, pemberhentian Pengurus dan Pengawas;
d. rencana kerja, rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi, serta pengesahan laporan keuangan;
e. pengesahan pertanggungjawaban Pengurus dalam pelaksanaan tugasnya;
f. pembagian sisa hasil usaha;
g. penggabungan, peleburan, pembagian, dan pembubaran Koperasi.
Pasal 24
(1) Keputusan Rapat Anggota diambil berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Apabila tidak diperoleh keputusan dengan cara musyawarah, maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(3) Dalam hal dilakukan pemungutan suara, setiap anggota mempunyai hak satu suara.
(4) Hak suara dalam Koperasi Sekunder dapat diatur dalam Anggaran Dasar dengan mempertimbangkan jumlah anggota dan jasa usaha Koperasi-anggota secara berimbang.
Pasal 25
Rapat Anggota berhak meminta keterangan dan pertanggungjawaban Pengurus dan Pengawas mengenai pengelolaan Koperasi.
Pasal 26
(1) Rapat Anggota dilakukan paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Rapat Anggota untuk mengesahkan pertanggungjawaban Pengurus diselenggarakan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku lampau.
Pasal 27
(1) Selain Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Koperasi dapat melakukan Rapat Anggota Luar Biasa apabila keadaan mengharuskan adanya keputusan segera yang wewenangnya ada pada Rapat Anggota.
(2) Rapat Anggota Luar Biasa dapat diadakan atas permintaan sejumlah anggota Koperasi atau atas keputusan Pengurus yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Dasar.
(3) Rapat Anggota Luar Biasa mempunyai wewenang yang sama dengan wewenang Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
Pasal 28
Persyaratan, tata cara, dan tempat penyelenggaraan Rapat Anggota dan Rapat Anggota Luar Biasa diatur dalam Anggaran Dasar.
Bagian Ketiga
Pengurus
Pasal 29
(1) Pengurus dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota.
(2) Pengurus merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota.
(3) Untuk pertama kali, susunan dan nama anggota Pengurus dicantumkan dalam akta pendirian.
(4) Masa jabatan Pengurus paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat menjadi anggota Pengurus ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 30
(1) Pengurus bertugas:
a. mengelola Koperasi dan usahanya;
b. mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi;
c. menyelenggarakan Rapat Anggota;
d. mengajukan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas;
e. menyelenggarakan pembukuan keuangan dan inventaris secara tertib;
f. memelihara daftar buku anggota dan pengurus.
(2) Pengurus berwenang:
a. mewakili Koperasi di dalam dan di luar pengadilan;
b. memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar;
c. melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan Koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan Rapat Anggota.
Pasal 31
Pengurus bertanggung jawab mengenai segala kegiatan pengelolaan Koperasi dan usahanya kepada Rapat Anggota atau Rapat Anggota Luar Biasa.
Pasal 32
(1) Pengurus Koperasi dapat mengangkat Pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk mengelola usaha.
(2) Dalam hal Pengurus Koperasi bermaksud untuk mengangkat Pengelola, maka rencana pengangkatan tersebut diajukan kepada Rapat Anggota untuk mendapat persetujuan.
(3) Pengelola bertanggung jawab kepada Pengurus.
(4) Pengelolaan usaha oleh Pengelola tidak mengurangi tanggung jawab Pengurus sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31.
Pasal 33
Hubungan antara Pengelola usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dengan Pengurus Koperasi merupakan hubungan kerja atas dasar perikatan.
Pasal 34
(1) Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri, menanggung kerugian yang diderita Koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya.
(2) Disamping penggantian kerugian tersebut, apabila tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan.
Pasal 35
Setelah tahun buku Koperasi ditutup, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakan rapat anggota tahunan, Pengurus menyusun laporan tahunan yang memuat sekurang-kurangnya:
a. perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan hasil usaha dari tahun yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut;
b. keadaan dan usaha Koperasi serta hasil usaha yang dapat dicapai.
Pasal 36
(1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ditanda-tangani oleh semua anggota Pengurus.
(2) Apabila salah seorang anggota Pengurus tidak menandatangani laporan tahunan tersebut, anggota yang bersangkutan menjelaskan alasannya secara tertulis.
Pasal 37
Persetujuan terhadap laporan tahunan, termasuk pengesahan perhitungan tahunan, merupakan penerimaan pertanggungjawaban Pengurus oleh Rapat Anggota.
Bagian Keempat
Pengawas
Pasal 38
(1) Pengawas dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota.
(2) Pengawas bertanggung jawab kepada Rapat Anggota.
(3) Persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat sebagai anggota Pengawas ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 39
(1) Pengawas bertugas:
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan Koperasi;
b. membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya.
(2) Pengawas berwenang:
a. meneliti catatan yang ada pada Koperasi;
b. mendapatkan segala keterangan yang diperlukan.
(3) Pengawas harus merahasiakan hasil pengawasannya terhadap pihak ketiga.
Pasal 40
Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan publik.
BAB VII
MODAL
Pasal 41
(1) Modal Koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman.
(2) Modal sendiri dapat berasal dari:
a. simpanan pokok;
b. simpanan wajib;
c. dana cadangan;
d. hibah.
(3) Modal pinjaman dapat berasal dari:
a. anggota;
b. Koperasi lainnya dan/atau anggotanya;
c. bank dan lembaga keuangan lainnya;
d. penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya;
e. sumber lain yang sah.
Pasal 42
(1) Selain modal sebagai dimaksud dalam Pasal 41, Koperasi dapat pula melakukan pemupukan modal yang berasal dari modal penyertaan.
(2) Ketentuan mengenai pemupukan modal yang berasal dari modal penyertaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
LAPANGAN USAHA
Pasal 43
(1) Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota.
(2) Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi.
(3) Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.
Pasal 44
(1) Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk:
a. anggota Koperasi yang bersangkutan;
b. Koperasi lain dan/atau anggotanya.
(2) Kegiatan usaha simpan pinjam dapat dilaksanakan sebagai salah satu atau satu-satunya kegiatan usaha Koperasi.
(3) Pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam oleh Koperasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
SISA HASIL USAHA
Pasal 45
(1) Sisa Hasil Usaha Koperasi merupakan pendapatan Koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
(2) Sisa Hasil Usaha setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota standing dengan jasa usaha yang dilakukan oleh, masing-masing anggota dengan Koperasi, serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan lain dari Koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota.
(3) Besarnya pemupukan dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota.
BAB X
PEMBUBARAN KOPERASI
Bagian Pertama
Cara Pembubaran Koperasi
Pasal 46
Pembubaran Koperasi dapat dilakukan berdasarkan:
a. keputusan Rapat Anggota, atau
b. keputusan Pemerintah.
Pasal 47
(1) Keputusan pembubaran oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dilakukan apabila:
a. terdapat bukti bahwa Koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini;
b. kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;
c. kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan.
(2) Keputusan pembubaran Koperasi oleh Pemerintah dikeluarkan dalam waktu paling lambat 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan rencana pembubaran tersebut oleh Koperasi yang bersangkutan.
(3) Dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal penerimaan pemberitahuan, Koperasi yang bersangkutan berhak mengajukan keberatan.
(4) Keputusan Pemerintah mengenai diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana pembubaran diberikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya pemyataan keberatan tersebut.
Pasal 48
Ketentuan mengenai pembubaran Koperasi oleh Pemerintah dan tata cara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
(1) Keputusan pembubaran Koperasi oleh Rapat Anggota diberitahukan secara tertulis oleh Kuasa Rapat Anggota kepada:
a. semua kreditor;
b. Pemerintah.
(2) Pemberitahuan kepada semua kreditor dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal pembubaran tersebut berlangsung berdasarkan keputusan Pemerintah.
(3) Selama pemberitahuan pembubaran Koperasi belum diterima oleh kreditor, maka pembubaran Koperasi belum berlaku baginya.
Pasal 50
Dalam pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 disebutkan:
a. nama dan alamat Penyelesai, dan
b. ketentuan bahwa semua kreditor dapat mengajukan tagihan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sesudah tanggal diterimanya surat pemberitahuan pembubaran.
Bagian Kedua
Penyelesaian
Pasal 51
Untuk kepentingan kreditor dan para anggota Koperasi, terhadap pembubaran Koperasi dilakukan penyelesaian pembubaran yang selanjutnya disebut penyelesaian.
Pasal 52
(1) Penyelesaian dilakukan oleh penyelesai pembubaran yang selanjutnya disebut Penyelesai.
(2) Untuk penyelesaian berdasarkan keputusan Rapat Anggota, Penyelesai ditunjuk oleh Rapat Anggota.
(3) Untuk penyelesaian berdasarkan keputusan Pemerintah, Penyelesai ditunjuk oleh Pemerintah.
(4) Selama dalam proses penyelesaian, Koperasi tersebut tetap ada dengan sebutan "Koperasi dalam penyelesaian".
Pasal 53
(1) Penyelesaian segera dilaksanakan setelah dikeluarkan keputusan pembubaran Koperasi.
(2) Penyelesai bertanggung jawab kepada Kuasa Rapat Anggota dalam hal Penyelesai ditunjuk oleh Rapat Anggota dan kepada Pemerintah dalam hal Penyelesai ditunjuk oleh Pemerintah.
Pasal 54
Penyelesai mempunyai hak, wewenang, dan kewajiban sebagai berikut:
a. melakukan segala perbuatan hukum untuk dan atas nama "Koperasi dalam penyelesaian";
b. mengumpulkan segala keterangan yang diperlukan;
c. memanggil Pengurus, anggota dan bekas anggota tertentu yang diperlukan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama;
d. memperoleh, memeriksa, dan menggunakan segala catatan dan arsip Koperasi;
e. menetapkan dan melaksanakan segala kewajiban pembayaran yang didahulukan dari pembayaran hutang lainnya;
f. menggunakan sisa kekayaan Koperasi untuk menyelesaikan sisa kewajiban Koperasi;
g. membagikan sisa hasil penyelesaian kepada anggota;
h. membuat berita acara penyelesaian.
Pasal 55
Dalam hal terjadi pembubaran Koperasi, anggota hanya menanggung kerugian sebatas simpanan pokok, simpanan wajib dan modal penyertaan yang dimilikinya.
Bagian Ketiga
Hapusnya Status Badan Hukum
Pasal 56
(1) Pemerintah mengumumkan pembubaran Koperasi dalam Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Status badan hukum Koperasi hapus sejak tanggal pengumuman pembubaran Koperasi tersebut dalam Berita Negara Republik Indonesia.
BAB XI
LEMBAGA GERAKAN KOPERASI
Pasal 57
(1) Koperasi secara bersama-sama mendirikan satu organisasi tunggal yang berfungsi sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai pembawa aspirasi Koperasi.
(2) Organisasi ini berasaskan Pancasila.
(3) Nama, tujuan, susunan, dan tata kerja organisasi diatur dalam Anggaran Dasar organisasi yang bersangkutan.
Pasal 58
(1) Organisasi tersebut melakukan kegiatan:
a. memperjuangkan dan menyalurkan aspirasi Koperasi;
b. meningkatkan kesadaran berkoperasi di kalangan masyarakat;
c. melakukan pendidikan perkoperasian bagi anggota dan masyarakat;
d. mengembangkan kerjasama antarkoperasi dan antara Koperasi dengan badan usaha lain, baik pada tingkat nasional maupun internasional.
(2) Untuk melaksanakan kegiatan tersebut, Koperasi secara bersama-sama, menghimpun dana Koperasi.
Pasal 59
Organisasi yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) disahkan oleh Pemerintah.
BAB XII
PEMBINAAN
Pasal 60
(1) Pemerintah menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan serta permasyarakatan Koperasi.
(2) Pemerintah memberikan bimbingan, kemudahan, dan perlindungan kepada Koperasi.
Pasal 61
Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang
mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi, Pemerintah:
a. memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada Koperasi;
b. meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadi Koperasi yang sehat, tangguh, dan mandiri;
c. mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara Koperasi dengan badan usaha lainnya;
d. membudayakan Koperasi dalam masyarakat.
Pasal 62
Dalam rangka memberikan bimbingan dan kemudahan kepada Koperasi, Pemerintah:
a. membimbing usaha Koperasi yang sesluai dengan kepentingan ekonomi anggotanya;
b. mendorong, mengembangkan, dan membantu pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan penelitian perkoperasian;
c. memberikan kemudahan untuk memperkokoh permodalan Koperasi serta mengembangkan lembaga keuangan Koperasi;
d. membantu pengembangan jaringan usaha Koperasi dan kerja sama yang saling menguntungkan antarkoperasi;
e. memberikan bantuan konsultansi guna memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh Koperasi dengan tetap memperhatikan Anggaran Dasar dan prinsip Koperasi.
Pasal 63
(1) Dalam rangka pemberian perlindungan kepada Koperasi, Pemerintah dapat:
a. menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh di-usahakan oleh Koperasi;
b. menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang telah berhasil diusahakan oleh Koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya.
(2) Persyaratan dan tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 64
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 dilakukan dengan memperhatikan keadaan dan kepentingan ekonomi nasional, serta pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
Koperasi yang telah memiliki status badan hukum pada saat Undang-undang ini berlaku, dinyatakan telah memperoleh status badan hukum berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 2832) dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 2832) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 67
Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Oktober 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Oktober 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1992
TENTANG
PERKOPERASIAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya penjelasan Pasal 33 antara lain menyatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Penjelasan Pasal 33 menempatkan Koperasi baik dalam kedudukan sebagai sokoguru perekonomian nasional maupun sebagai bagian integral tata perekonomian nasional. Dengan memperhatikan kedudukan Koperasi seperti tersebut di atas maka peran Koperasi sangatlah penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat serta dalam mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan, dan keterbukaan.
Dalam kehidupan ekonomi seperti itu Koperasi seharusnya memiliki ruang
gerak dan kesempatan usaha yang luas yang menyangkut kepentingan kehidupan ekonomi rakyat. Tetapi dalam perkembangan ekonomi yang berjalan demikian cepat, pertumbuhan Koperasi selama ini belum sepenuhnya menampakkan wujud dan perannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pula peraturan perundang-undangan yang ada masih belum sepenuhnya menampung hal yang diperlukan untuk menunjang terlaksananya Koperasi baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat. Oleh karena itu, untuk menyelaraskan dengan perkembangan lingkungan yang dinamis perlu adanya landasan hukum baru yang mampu mendorong Koperasi agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi lebih kuat dan mandiri. Pembangunan Koperasi perlu diarahkan sehingga semakin berperan dalam perekonomian nasional.
Pengembangannya diarahkan agar Koperasi benar-benar menerapkan prinsip Koperasi dan kaidah usaha ekonomi. Dengan demikian Koperasi akan merupakan organisasi ekonomi yang mantap, demokratis, otonom, partisipatif, dan berwatak sosial. Pembinaan Koperasi pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong agar Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama dalam kehidupan ekonomi rakyat. Undang-undang ini menegaskan bahwa pemberian status badan hukum Koperasi, pengesahan perubahan Anggaran Dasar, dan pembinaan Koperasi merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada Menteri yang membidangi Koperasi.
Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa Pemerintah mencampuri urusan internal organisasi Koperasi dan tetap memperhatikan prinsip kemandirian Koperasi. Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, menciptakan dan mengembangkan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi. Demikian juga Pemerintah memberikan bimbingan, kemudahan, dan perlindungan kepada Koperasi.
Selanjutnya Pemerintah dapat menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya dapat diusahakan oleh Koperasi. Selain itu Pemerintah juga dapat menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah tertentu yang telah berhasil diusahakan oleh Koperasi untuk tidak diusahakan oleh
badan usaha lainnya. Hal tersebut dilakukan dengan memperhatikan kepentingan ekonomi nasional dan perwujudan pemerataan kesempatan berusaha. Undang-undang ini juga memberikan kesempatan bagi koperasi untuk memperkuat permodalan melalui pengerahan modal penyertaan baik dari anggota maupun dari bukan anggota. Dengan kemungkinan ini, Koperasi dapat lebih menghimpun dana untuk pengembangan usahanya.
Sejalan dengan itu dalam Undang-undang ini ditanamkan pemikiran ke arah pengembangan pengelolaan Koperasi secara profesional. Berdasarkan hal tersebut di atas, Undang-undang ini disusun dengan maksud untuk memperjelas dan mempertegas jati diri, tujuan, kedudukan, peran, manajemen, keusahaan, dan permodalan Koperasi serta pembinaan Koperasi, sehingga dapat lebih menjamin terwujudnya kehidupan Koperasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Yang dimaksud dengan kehidupan Koperasi adalah aspek yang erat berkaitan dengan pembangunan Koperasi, seperti
misalnya falsafah, ideologi, organisasi, manajemen, usaha, pendidikan, pembinaan, dan sebagainya.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Prinsip Koperasi merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan berkoperasi. Dengan melaksanakan keseluruhan prinsip tersebut Koperasi mewujudkan dirinya sebagai badan usaha sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berwatak sosial.
Ayat (1)
Prinsip Koperasi ini merupakan esensi dari dasar kerja Koperasi sebagai badan usaha dan merupakan ciri khas dan jati diri Koperasi yang membedakannya dari badan usaha lain.
Huruf a
Sifat kesukarelaan dalam keanggotaan Koperasi mengandung makna bahwa menjadi anggota Koperasi tidak boleh dipaksakan oleh siapapun.
Sifat kesukarelaan juga mengandung makna bahwa seorang anggota dapat mengundurkan diri dari Koperasinya sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam Anggaran Dasar Koperasi. Sedangkan sifat terbuka memiliki arti bahwa dalam keanggotaan tidak dilakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apapun.
Huruf b
Prinsip demokrasi menunjukkan bahwa pengelolaan Koperasi dilakukan alas kehendak dan keputusan para anggota. Para anggota itulah yang memegang dan melaksanakan kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.
Huruf c
Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota dilakukan tidak semata-mata berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam Koperasi tetapi juga berdasarkan perimbangan jasa usaha anggota terhadap Koperasi.
Ketentuan yang demikian ini merupakan perwujudan nilai kekeluargaan dan keadilan.
Huruf d
Modal dalam Koperasi pada dasarnya dipergunakan untuk kemanfaatan anggota dan bukan untuk sekedar mencari keuntungan.
Oleh karena itu balas jasa terhadap modal yang diberikan kepada para anggota juga terbatas, dan tidak didasarkan semata-mata alas besarnya modal yang diberikan. Yang dimaksud dengan terbatas adalah wajar dalam arti tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar.
Huruf e
Kemandirian mengandung pengertian dapat berdiri sendiri, tanpa bergantung pada pihak lain yang dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan, dan usaha sendiri. Dalam kemandirian terkandung pula pengertian kebebasan yang bertanggung jawab, otonomi,swadaya,berani mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, dan kehendak untuk mengelola diri sendiri.
Ayat (2)
Disamping kelima prinsip sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), untuk pengembangan dirinya koperasi juga melaksanakan dua prinsip Koperasi yang lain yaitu pendidikan perkoperasian dan kerja sama antar koperasi.
Penyelenggaraan pendidikan perkoperasian dan kerja sama antar koperasi merupakan prinsip Koperasi yang penting dalam meningkatkan kemampuan, memperluas wawasan anggota, dan memperkuat solidaritas dalam mewujudkan tujuan Koperasi. Kerja sama dimaksud dapat dilakukan antar koperasi di tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional.
Pasal 6
Ayat (1)
Persyaratan ini dimaksudkan untuk menjaga kelayakan usaha dan kehidupan Koperasi. Orang-seorang pembentuk Koperasi adalah mereka yang memenuhi persyaratan keanggotaan dan mempunyai kepentingan ekonomi yang sama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tempat kedudukan adalah alamat tetap kantor Koperasi.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Jangka waktu berdirinya Koperasi dapat ditetapkan terbatas dalam jangka waktu tertentu atau tidak terbatas sesuai dengan tujuannya.
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Sanksi dalam ketentuan ini adalah sanksi yang diatur secara intern oleh masing-masing Koperasi, yang dikenakan terhadap Pengurus, Pengawas, dan anggota yang melanggar ketentuan Anggaran Dasar.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dengan ketentuan ini dimaksudkan hanya perubahan yang mendasar yang perlu dimintakan pengesahan Pemerintah, yaitu yang menyangkut penggabungan, pembagian, dan perubahan bidang usaha. Pengesahan yang dimaksud dalam hal penggabungan dan perubahan bidang usaha merupakan pengesahan perubahan Anggaran Dasar, dan dalam hal pembagian merupakan pengesahan perubahan Anggaran Dasar dan atau pengesahan badan hukum baru. Pengesahan perubahan bidang usaha Koperasi yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak mengurangi kesempatan
Koperasi untuk berusaha di segala bidang ekonomi.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Penggabungan atau yang dikenal dengan istilah amalgamasi, dan peleburan hanya dapat dilakukan apabila didasarkan atas pertimbangan pengembangan dan/atau efisiensi usaha pengelolaan Koperasi sesuai dengan kepentingan anggota. Dalam hal penggabungan dan peleburan yang memerlukan pengesahan Anggaran Dasar atau badan hukum baru dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Pengertian Koperasi Sekunder meliputi semua Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi Primer dan/atau Koperasi Sekunder.
Berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan efisiensi, Koperasi
Sekunder dapat didirikan oleh Koperasi sejenis maupun berbagai jenis atau tingkatan. Dalam hal Koperasi mendirikan Koperasi Sekunder dalam berbagai tingkatan, seperti yang selama ini dikenal sebagai Pusat, Gabungan, dan Induk, maka jumlah tingkatan maupun penamaannya diatur sendiri oleh Koperasi yang bersangkutan.
Pasal 16
Dasar untuk menentukan jenis Koperasi adalah kesamaan aktivitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi anggotanya, seperti antara lain Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Konsumen, Koperasi Produsen, Koperasi Pemasaran, dan Koperasi Jasa. Khusus Koperasi yang dibentuk oleh golongan fungsional seperti pegawai negeri, anggota ABRI, karyawan dan sebagainya, bukan merupakan jenis Koperasi tersendiri.
Pasal 17
Ayat (1)
Sebagai pemilik dan pengguna jasa Koperasi, anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan Koperasi. Sekalipun demikian, sepanjang tidak merugikan kepentingannya, Koperasi dapat pula memberikan pelayanan kepada bukan anggota sesuai dengan sifat kegiatan usahanya, dengan maksud untuk menarik yang bukan anggota menjadi anggota Koperasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dapat menjadi anggota Koperasi Primer adalah orang-seorang yang telah mampu melakukan tindakan hukum dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Koperasi yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan sebagai konsekuensi Koperasi sebagai badan hukum. Namun demikian khusus bagi pelajar, siswa dan/atau yang dipersamakan dan dianggap belum mampu melakukan tindakan hukum dapat membentuk Koperasi, tetapi Koperasi tersebut tidak disahkan sebagai badan hukum dan statusnya hanya Koperasi tercatat.
Ayat (2)
Dalam hal terdapat orang yang ingin mendapat pelayanan dan menjadi anggota Koperasi, namun tidak sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar, mereka dapat diterima sebagai anggota luar biasa. Ketentuan ini memberi peluang bagi penduduk Indonesia bukan warga negara dapat menjadi anggota luar biasa dari suatu Koperasi sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Keanggotaan Koperasi pada dasarnya tidak dapat dipindahtangankan karena persyaratan untuk menjadi anggota Koperasi adalah kepentingan ekonomi yang melekat pada anggota yang bersangkutan. Dalam hal anggota Koperasi meninggal dunia, keanggotaannya dapat diteruskan oleh ahli waris yang memenuhi syarat dalam Anggaran Dasar. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara kepentingan ahli waris dan mempermudah proses mereka untuk menjadi anggota.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Sebagai konsekuensi seseorang menjadi anggota Koperasi, maka anggota mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu mematuhi ketentuan yang ada dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan yang telah disepakati dalam Rapat Anggota. Mengingat anggota adalah pemilik dan pengguna jasa sangat berkepentingan dalam usaha yang dijalankan oleh Koperasi, maka partisipasi anggota berarti pula untuk mengembangkan usaha Koperasi. Hal itu sejalan pula dengan hak anggota untuk memanfaatkan dan mendapat pelayanan dari Koperasinya. Anggota merupakan faktor penentu dalam kehidupan Koperasi, oleh karena itu penting bagi anggota untuk mengembangkan dan memelihara kebersamaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemungutan suara yang dimaksud ayat ini dilakukan hanya oleh anggota yang hadir.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan mempertimbangkan jumlah anggota dan jasa usaha Koperasi-anggota secara berimbang adalah penentuan hak suara dilakukan standing dengan jumlah anggota setiap Koperasi-anggota dan besar kecilnya jasa usaha Koperasi-anggota terhadap Koperasi Sekundernya.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Batas waktu penyelenggaraan Rapat Anggota dalam ayat ini yaitu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku lampau, namun demikian dalam pelaksanaannya diusahakan secepatnya.
Pasal 27
Ayat (1)
Rapat Anggota Luar Biasa diadakan apabila sangat diperlukan dan tidak bisa menunggu diselenggarakannya Rapat Anggota.
Ayat (2)
Permintaan Rapat Anggota Luar Biasa oleh anggota dapat dilakukan karena berbagai alasan, terutama apabila anggota menilai bahwa Pengurus telah melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kepentingan Koperasi dan menimbulkan kerugian terhadap Koperasi. Jika permintaan tersebut telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, maka Pengurus harus memenuhinya. Rapat Anggota Luar Biasa atas keputusan Pengurus dilaksanakan untuk kepentingan pengembangan Koperasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Anggota Pengurus yang telah habis masa jabatannya dapat dipilih kembali.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Dalam mengelola Koperasi, Pengurus selaku kuasa Rapat Anggota melakukan kegiatan semata-mata untuk kepentingan dan kemanfaatan Koperasi beserta anggotanya sesuai dengan keputusan Rapat Anggota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan profesionalisme dalam pengelolaan usaha Koperasi. Karenanya, Pengurus dapat mengangkat tenaga Pengelola yang ahli untuk mengelola usaha Koperasi yang bersangkutan. Penggunaan istilah Pengelola dimaksudkan untuk dapat mencakup pengertian yang lebih luas dan memberi alternatif bagi Koperasi. Dengan demikian sesuai kepentingannya Koperasi dapat mengangkat Pengelola sebagai manajer atau direksi. Maksud dari kata diberi wewenang dan kuasa adalah pelimpahan wewenang dan kuasa yang dimiliki oleh Pengurus. Dengan demikian Pengurus tidak lagi melaksanakan sendiri wewenang dan kuasa yang telah dilimpahkan kepada Pengelola dan tugas Pengurus beralih menjadi mengawasi pelaksanaan wewenang dan kuasa yang dilakukan Pengelola. Adapun besarnya wewenang dan kuasa yang dilimpahkan ditentukan sesuai dengan kepentingan Koperasi.
Ayat (2)
Yang dimintakan persetujuan adalah rencana pengangkatan pengelola usaha. Pemilihan dan pengangkatan pengelola usaha dilaksanakan oleh Pengurus.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 33
Hubungan kerja antara Pengelola dengan Pengurus Koperasi tunduk pada ketentuan hukum perikatan pada umumnya. Dengan demikian Pengelola bertanggung jawab sepenuhnya kepada Pengurus. Selanjutnya hubungan.kerja tersebut sesuai dengan yang diperjanjikan dilakukan secara kontraktual.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Penerimaan pertanggungjawaban Pengurus oleh Rapat Anggota berarti membebaskan Pengurus dari tanggung jawabnya pada tahun buku yang bersangkutan.
Pasal 38
Dalam hal Koperasi mengangkat Pengelola, Pengawas dapat diadakan secara tetap atau diadakan pada waktu diperlukan sesuai dengan keputusan Rapat Anggota. Hal ini tidak mengurangi arti Pengawas sebagai perangkat organisasi dan memberi kesempatan kepada Koperasi untuk memilih Pengawas secara tetap atau pada waktu diperlukan sesuai dengan keperluannya. Pengawas yang diadakan pada waktu diperlukan tersebut melakukan pengawasan sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh Rapat Anggota.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 40
Dalam rangka peningkatan efisiensi, pengelolaan yang bersifat terbuka, dan melindungi pihak yang berkepentingan, Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan publik. Dengan ketentuan ini Pengurus dapat meminta jasa audit kepada akuntan publik, dan tidak menutup kemungkinan permintaan tersebut dilakukan oleh Pengawas. Untuk terlaksananya audit sebagaimana mestinya, Rapat Anggota dapat menetapkan untuk itu, Yang dimaksud dengan jasa audit adalah audit terhadap. laporan keuangan dan audit lainnya sesuai keperluan Koperasi. Disamping itu Koperasi dapat meminta jasa lainnya dari akuntan publik antara lain konsultansi dan pelatihan.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan modal sendiri adalah modal yang menanggung resiko atau disebut modal ekuiti.
Huruf a
Simpanan pokok adalah sejumlah uang yang sama banyaknya yang wajib dibayarkan oleh anggota kepada Koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota.
Huruf b
Simpanan wajib adalah jumlah simpanan tertentu yang tidak harus sama yang wajib dibayar oleh anggota kepada Koperasi dalam waktu dan kesempatan tertentu. Simpanan wajib tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota.
Huruf c
Dana cadangan adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan sisa hasil usaha, yang dimaksudkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk menutup kerugian Koperasi bila diperlukan.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (3)
Untuk pengembangan usahanya Koperasi dapat menggunakan modal pinjaman dengan memperhatikan kelayakan dan kelangsungan usahanya.
Huruf a
Pinjaman yang diperoleh dari anggota, termasuk calon anggota yang memenuhi syarat.
Huruf b
Pinjaman dari Koperasi lainnya dan/atau anggotanya didasari dengan perjanjian kerja sama antarkoperasi.
Huruf c
Pinjaman dari bank dan lembaga keuangan lainnya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf d
Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf e
Sumber lain yang sah adalah pinjaman dari bukan anggota yang dilakukan tidak melalui penawaran secara umum.
Pasal 42
Ayat (1)
Pemupukan modal dari modal penyertaan, baik yang bersumber dari Pemerintah maupun dari masyarakat dilaksanakan dalam rangka memperkuat kegiatan usaha Koperasi terutama yang berbentuk investasi. Modal penyertaan ikut menanggung resiko. Pemilik modal penyertaan tidak mempunyai hak suara dalam Rapat Anggota dan dalam menentukan kebijaksanaan Koperasi secara keseluruhan. Namun demikian, pemilik modal penyertaan dapat diikutsertakan dalam pengelolaan dan pengawasan usaha investasi yang didukung oleh modal penyertaannya sesuai dengan perjanjian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Usaha Koperasi terutama diarahkan pada bidang usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota baik untuk menunjang usaha maupun kesejahteraannya. Dalam hubungan ini maka pengelolaan usaha Koperasi harus dilakukan secara produktif, efektif, dan efisien dalam arti Koperasi harus mempunyai kemampuan mewujudkan pelayanan usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang sebesar-besarnya pada anggota dengan tetap mempertimbangkan untuk memperoleh sisa hasil usaha yang wajar. Untuk mencapai kemampuan usaha seperti tersebut di atas, maka Koperasi dapat berusaha secara luwes baik ke hulu maupun ke hilir serta berbagai jenis usaha lainnya yang terkait. Adapun mengenai pelaksanaan usaha Koperasi, dapat dilakukan dimana saja, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan mempertimbangkan kelayakan usahanya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kelebihan kemampuan usaha Koperasi adalah kelebihan kapasitas dana dan daya yang dimiliki oleh Koperasi untuk melayani anggotanya. Kelebihan
kapasitas tersebut oleh Koperasi dapat dimanfaatkan untuk
berusaha dengan bukan anggota dengan tujuan untuk mengoptimalkan skala ekonomi dalam arti memperbesar volume usaha dan menekan biaya per unit yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada anggotanya serta untuk memasyarakatkan Koperasi.
Ayat (3)
Agar Koperasi dapat mewujudkan fungsi dan peran seperti yang dimaksud dalam Pasal 4, maka Koperasi melaksanakan usaha di segala bidang kehidupan ekonomi dan berperan utama dalam kehidupan ekonomi rakyat. Yang dimaksud dengan kehidupan ekonomi rakyat adalah semua kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dan menyangkut kepentingan orang banyak.
Pasal 44
Ayat (1)
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang yang mengatur tentang perbankan, usaha simpan pinjam tersebut diatur secara khusus dalam Undang-undang ini. Pengertian anggota Koperasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a ayat ini termasuk calon anggota yang memenuhi syarat. Sedangkan ketentuan dalam huruf b berlaku sepanjang dilandasi dengan perjanjian kerja sama antarkoperasi yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan besarnya pembagian kepada para anggota dan jenis serta besarnya keperluan lain, ditetapkan oleh Rapat Anggota. Yang dimaksud dengan jasa usaha adalah transaksi usaha dan partisipasi modal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Keputusan pembubaran karena alasan kegiatan Koperasi bertentangan dengan ketertiban umum dan/ atau kesusilaan dalam ketentuan ini dilakukan apabila telah dibuktikan dengan keputusan pengadilan. Keputusan pembubaran karena alasan kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan, antara lain karena dinyatakan pailit.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Kuasa Rapat Anggota dalam ayat ini adalah mereka yang ditunjuk dan diberi kuasa serta tanggung jawab oleh Rapat Anggota untuk melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pembubaran Koperasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pihak kreditor yang belum mengetahui pembubaran Koperasi tersebut.
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Ketentuan ini menegaskan bahwa "Koperasi dalam penyelesaian", hak dan kewajibannya masih tetap ada untuk menyelesaikan seluruh urusannya.
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keputusan pembubaran Koperasi adalah baik oleh keputusan Rapat Anggota maupun oleh keputusan Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 54
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan bekas anggota tertentu misalnya mereka yang keluar dari keanggotaan Koperasi yang masih mempunyai kewajiban menanggung sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasarnya.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 55
Ketentuan ini merupakan penegasan bahwa anggota hanya menanggung kerugian terbatas pada simpanan pokok dan simpanan wajib serta modal penyertaannya. Sedangkan yang merupakan modal pinjaman Koperasi dari anggota tidak termasuk dalam ketentuan tersebut.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Organisasi tersebut bukan merupakan badan usaha dan karenanya tidak melakukan kegiatan usaha ekonomi secara langsung. Pada saat diundangkannya Undang-undang ini, organisasi ini yang bernama Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) selanjutnya harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-undang ini. Tujuan dan kegiatan organisasi tersebut harus sesuai dan selaras dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam Undang-undang ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Anggaran Dasar organisasi yang bersangkutan, sekurang-kurangnya memuat :
a. nama organisasi;
b. tujuan organisasi;
c. susunan organisasi;
d. ketentuan mengenai kepengurusan dan masa jabatannya;
e. ketentuan mengenai tata kerja organisasi;
f. ketentuan mengenai Rapat Anggota dan rapat lainnya;
g. ketentuan mengenai hak dan kewajiban anggota;
h. ketentuan mengenai sumber dan pengelolaan keuangan;
i. ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar dan pembubaran;
j. ketentuan mengenai sanksi organisasi.
Pasal 58
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Upaya untuk meningkatkan kesadaran berkoperasi di kalangan masyarakat, dilakukan antara lain melalui kegiatan penerangan, penyampaian informasi, penerbitan, dan pembinaan kelompok usaha dalam masyarakat untuk diarahkan menjadi Koperasi.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Untuk mengembangkan kerja sama antarkoperasi dan antara Koperasi dengan badan usaha lainnya, organisasi ini mendorong pertumbuhan dan perkembangan jaringan kelembagaan dan usaha Koperasi baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 59.
Cukup jelas
Pasal 60
Dengan ketentuan ini, Pemerintah memiliki landasan yang jelas dan kuat untuk melaksanakan peranannya dalam menetapkan kebijaksanaan pembinaan yang diperlukan guna mendorong pertumbuhan, perkembangan, dan pemasyarakatan Koperasi. Sesuai dengan prinsip kemandirian, pembinaan tersebut dilaksanakan tanpa mencampuri urusan internal organisasi Koperasi. Penumbuhan, pengembangan, dan pemasyarakatan Koperasi merupakan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah agar masyarakat luas memahami gagasan Koperasi sehingga dengan penuh kesadaran mendirikan dan memanfaatkan Koperasi guna memenuhi kepentingan ekonomi dan sosialnya. Pemberian bimbingan, kemudahan, dan perlindungan oleh Pemerintah merupakan upaya pengembangan Koperasi yang dilaksanakan melalui penetapan kebijaksanaan, penyediaan fasilitas, dan konsultansi yang diperlukan agar Koperasi mampu melaksanakan fungsi dan perannya serta dapat mencapai tujuannya. Dengan demikian menjadi kewajiban dari seluruh aparatur Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah untuk melakukan upaya dalam mendorong pertumbuhan, perkembangan, dan pemasyarakatan Koperasi.
Pasal 61
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Tata hubungan usaha yang serasi dan saling menguntungkan antara Koperasi dengan badan usaha lainnya merupakan faktor yang penting dalam rangka mewujudkan sistem perekonomian nasional yang berdasarkan demokrasi ekonomi. Dalam hubungan ini kerja sama tersebut haruslah merupakan hubungan yang saling membutuhkan dan menguntungkan.
Huruf d
Membudayakan Koperasi adalah memasyarakatkan jiwa dan semangat Koperasi.
Pasal 62
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Ketentuan ini mempertegas komitmen Pemerintah, dalam upaya memperkokoh permodalan Koperasi serta mengembangkan lembaga keuangan Koperasi, mengingat bahwa permodalan merupakan salah satu sumber kekuatan bagi pengembangan usaha Koperasi. Dalam pelaksanaannya antara lain dilakukan dengan mengembangkan penyertaan modal, baik dari Pemerintah maupun masyarakat, serta memberikan kemudahan persyaratan dan prosedur untuk mendapatkan kredit. Pemerintah juga memberikan bimbingan dan kemudahan untuk mengembangkan lembaga keuangan yang berbadan hukum Koperasi.
Huruf d
Pengembangan jaringan usaha Koperasi yang kuat dan kerja sama antarkoperasi yang erat dan saling menguntungkan merupakan faktor penting dalam menumbuhkan potensi masing-masing Koperasi dan keseluruhan Koperasi.
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 63
Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan ini dengan tegas mencerminkan komitmen Pemerintah dalam upaya memperkuat pertumbuhan dan perkembangan Koperasi sebagai suatu bangun perusahaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka komitmen ini Pemerintah dapat menetapkan bidang ekonomi tertentu, terutama yang sangat erat hubungannya dengan kegiatan ekonomi rakyat, yang hanya boleh diusahakan oleh Koperasi. Pelaksanaan ketentuan ini bersifat dinamis dengan memperhatikan aspek keseimbangan terhadap keadaan dan kepentingan ekonomi nasional serta aspek pemerataan berusaha.
Huruf b
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi kelangsungan hidup usaha Koperasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Langganan:
Komentar (Atom)