Rabu, 08 Agustus 2012

KEUANGAN MIKRO SEBAGAI SALAH SATU CARA EFEKTIF UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN DAN MENGGERAKKAN EKONOMI RAKYAT

Pada saat Gema PKM didirikan dengan suatu perayaan bersama Presiden RI di Istana Negara tanggal 10 Maret 2000, maka jika dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan pengembangan keuangan mikro terasa dibangun atas setidaknya kombinasi tiga maksud: untuk mengenal dan memperkenalkan LKM, membangun network diantara mereka yang “terkait” dengan LKM, serta mencari dan melaksanakan langkah-langkah berikutnya bagi pengembangan LKM. Ketiga aspek tersebut ditopang oleh motivasi dan peran serta setidaknya dari tiga kelompok “anggota” Gema PKM, yaitu kelompok yang yakin dengan arti penting dan peran LKM, khususnya dalam penanggulangan kemiskinan, diantaranya banyak yang juga telah mempraktekan pengembangan keuangan mikro secara langsung; kelompok yang melihat kemungkinan LKM sebagai salah satu alternatif dalam membantu masyarakat miskin menyelesaikan masalahnya; dan kelompok ‘campuran’ yang memiliki beragam motivasi. Ketiga maksud yang mendasari pengembangan Gema PKM dan tiga bentuk motivasi anggota Gema PKM yang menyertainya merupakan cerminan atas pandangan mengenai keuangan mikro. Setelah tiga tahun perjuangan Gema PKM, terminologi dan arti penting “lembaga keuangan mikro” telah semakin dikenal oleh berbagai kalangan, juga telah disertakan – secara eksplisit maupun implisit – dalam berbagai dokumen resmi maupun dalam berbagai pemikiran, konsep, strategi, dan operasionalisasi penanggulangan kemiskinan dan pembangunan ekonomi rakyat. Lebih dari pada sekedar ‘mengenal’, telah banyak pula yang mencoba meyakinkan berbagai pihak bahwa apa yang dilakukannya adalah pengembangan LKM. Dalam hal ini LKM sebenarnya telah jauh lebih ‘terkenal’ dan sudah ‘terkenal’ sejak lama. Namun umumnya pengenalan atau apresiasi itu terbatas pada mereka yang terlayani oleh LKM yang bersangkutan. Pengenalan LKM lebih diekspresikan sebagai “saya mengenal ‘LKM’ saya”. Kalaupun ada pengenalan diluar lingkup tersebut maka pengenalannya adalah terhadap beberapa kelembagaan keuangan mikro ‘terkemuka’, seperti BRI-UD, P4K, baitul-maal’, BPR, Pinbuk, arisan, dan sebagainya tanpa mengasosiasikan pemahaman bahwa lembaga-lembaga tersebut adalah sebuah lembaga keuangan mikro. Umumnya justru harus terdapat proses ‘penjelasan’ bahwa lembaga-lembaga terkenal itu adalah lembaga keuangan mikro, atau menjadikan lembaga-lembaga itu sebagai contoh untuk menjelaskan suatu lembaga keuangan mikro. Keberadaan keuangan mikro tidak dapat dipisahkan dari usaha-usaha penanggulangan kemiskinan. Bahkan perhatian dan usaha untuk mengembangkan keuangan mikro terutama didasarkan pada motivasi untuk mempercapat usaha penanggulangan kemiskinan. Hal ini pulalah yang mendasari berbagai lembaga internasional bergerak langsung dalam kegiatan keuangan mikro maupun dalam pengembangan lembaga keuangan tersebut. Keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha penanggulangan kemiskinan yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan kelompok miskin dan peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan, melalui : ¨ tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi, ¨ mengelola resiko dengan lebih baik, ¨ secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset, ¨ mengembangkan kegiatan usaha mikronya, ¨ menguatkan kapasistas perolehan pendapatannya, dan ¨ dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik. Tanpa akses yang tetap pada lembaga keuangan (mikro), hampir selurulh rumah tangga miskin akan bergantung pada kemampuan pembiayaannya sendiri (yang sangat-sangat terbatas) atau pada kelembagaan keuangan informal (rentenir, tengkulak, pelepas uang)[2], yang membatasi kemampuan kelompok miskin berpartisipasi dan mendapat manfaat dari peluang pembangunan. Secara khusus keuangan mikro juga dapat menjadi jalan yang efektif dalam membantu dan memberdayakan perempuan, yang menjadi bagian terbesar dari masyarakat miskin sekaligus juga memiliki potensi dan peran besar untuk meningkatkan ekonomi keluarga jika mendapat kesempatan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, keuangan mikro pada gilirannya juga dapat memberikan kontribusi positif terhadap alokasi sumberdaya, promosi pemasaran, dan adopsi teknologi yang lebih baik. Dengan demikian, keuangan mikro membantu peningkatan ekonomi dan pembangunan, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin. Lebih dari pada itu keuangan mikro dapat memberikan kontribusi pada pengembangan sistem keuangan secara menyeluruh melalui integrasi pasar keuangan dan peningkatan jangkauan layanan yang selama ini tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional. Dirangkum dari beberapa publikasi ADB. Seperti telah dikemukakan diatas pengembangan LKM telah diyakini merupakan faktor penting dalam penanggulangan kemiskinan. Bahkan bagi banyak pihak pengembangan LKM merupakan bagian dari penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Padahal pengembangan keuangan mikro dapat pula diartikan sebagai usaha mengembangkan sistem keuangan (nasional dan lokal) yang lebih sesuai dengan kondisi rakyat yang riil (people based financial system), miskin ataupun tidak. Kedua aspek tersebut terkait erat satu dengan lainnya, walaupun pemberian fokus perhatian pada salah satunya sering menjadi strategi yang memang harus dilakukan. Strategi pengembangan keuanga mikro untuk kedua kepentingan diatas tampaknya sudah cukup jelas dan telah menjadi kesepakatan yang teruji dalam beberapa pembahasan. Strategi tersebut adalah : 1. Pengakuan dan Perlindungan. Hal ini diwujudkan melalui pengembangan kerangka regulasi (regulatory framework) bagi keuangan mikro. Keuangan mikro harus diakui, diapresiasi, dan dilindungi (baik LKMnya maupun publik yang terkait dengannya), serta dikeluarkan dari situasi sebagai lembaga yang “dibutuhkan tetapi ilegal”. Dalam konteks inilah LKM perlu menjadi bagian dari sistem keuangan nasional, yang didukung tidak hanya oleh suatu UU Keuangan Mikro tetapi juga berbagai perangkat hukum dan peraturan lainnya. Catatan khusus bagi Indonesia yang telah memiliki keuangan mikro yang sangat beragam dan telah berperan sejak lama adalah bahwa ‘regulatory framework’ tersebut harus mampu memberikan apresiasi terhadap apa yang telah berkembang selama ini. Adanya perundang-undangan dan peraturan menyangkut keuangan mikro harus dicegah agar tidak menjungkir balikan semua yang ada dan menghilangkan kreativitas masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Oleh sebab itu pendekatan ‘voluntary legal framework’ tampaknya merupakan pendekatan yang sesuai. 2. Penguatan dan Peningkatan Kapasitas : Praktik dan Pengelolaan. Hal ini terkait dengan penguatan dan peningkatan kapasitas lembaga keuangan mikro melalui penyebaran informasi mengenai “best practices” yang digali baik dari pengalaman keuangan mikro di Indonesia sendiri maupun dari pengalaman di negara lain. Penguatan dan peningkatan kapasistas ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengembangan berbagai aspek usaha mikro lainnya (teknologi, manajemen, pemasaran, dll), dan juga perlu memperhatikan keragaman yang sudah berkembang hingga saat ini. 3. Penguatan dan Peningkatan Kapasitas : Sumberdaya Finansial. Hal ini dikaitkan dengan ketersediaan dana sekunder (dana bagi kegiatan LKM yang tidak berasal dari dalam LKM yang bersangkutan). Hal ini dapat dilakukan dengan mengadaan sumber dana sekunder khusus atau mengkaitkan LKM dengan lembaga keuangan lain yang sudah ada (perbanakan). Kedua penguatan dan peningkatan diatas kemudian diarahkan untuk meningkatkan jangkauan (outreach) LKM dalam melayani masyarakat miskin, dan keduanya sangat terkait pula dengan pengembangan SDM dan pengembangan lembaga (human resource and institutional development). Sebagai catatan penutup, sebagai bentuk refleksi efektivitas sebuah peran yang ditujukan untuk membantu masyarakat miskin kiranya perlu diterapkan suatu sikap yang rendah hati sekaligus meyakini sebuah harapan. Sebenarnya apa yang kita putuskan atau tidak-putuskan hari ini tidak akan berarti banyak bagi orang miskin besok atau bulan depan. Mereka tetap akan berusaha untuk ‘survive’ dengan caranya sendiri. Demikian juga dengan lembaga keuangan mikro, yang akan terus berkembang dan mengembangkan diri dengan kreativitas dan kemampuan mereka yang ada, terlepas apakah kita menganggapnya baik atau tidak. Apa yang kita putuskan, atau yang tidak kita putuskan hari ini mungkin akan berakibat bagi perkembangan keuangan mikro dalam jangka menengah atau jangka panjang. Oleh karenanya, harapan akan masa depan disertai kesabaran dan konsistensi akan menjadi komponen penting disamping ketepatan memilih langkah yang akan dilakukan. MERAJUT KEBERSAMAAN DAN KEMANDIRIAN BANGSA MELALUI KEUANGAN MIKRO, UNTUK MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN MENGGERAKKAN EKONOMI RAKYAT Dalam keheningan menatap situasi ke-Indonesiaan saat ini, akan membuat kita gamang. Dengan muram dan sedih kita harus mengatakan, realitas kekinian memang masih jauh dari harapan. Dihantam krisis multi dimensi, membuat kita jatuh tersungkur, bahkan seakan berada di titik nadir. Dan rasanya kita tak tahu akan diletakkan dimana wajah kita, bila dihadapkan founding fathers peletak pondasi nasion ini. Apalagi kini kita berpijak di bumi, di mana Sang Proklamator disemayamkan. Sosok Bapak Bangsa, seorang Nasionalis Tulen, Penyambung Lidah Rakyat yang mempunyai reputasi terhormat di kancah dunia. Situasi yang kini kita alami, memang menggelisahkan. Rasanya, siapapun tak akan tenang hatinya menyaksikan sekitar 38 juta penduduk masih bergulat dalam kemiskinan. Jeritan tanpa suara (voice of the voiceless) itu, terasa menyayat sanubari, membuat kita bergegas ingin mengulurkan tangan. Namun, apakah mereka membutuhkan bantuan seperti yang kita pikirkan ? Pengalaman menunjukkan, bila bantuan yang kita berikan salah, justru akan mematikan kemandirian, inisiatif dan menimbulkan ketergantungan. oleh karena itu, mari kita “mencari tahu” siapakah si miskin itu ? Apakah orang miskin malas dan tak mau bekerja ? Tentu tidak. Bila mereka tak mau bekerja, tentunya tak bisa mempertahankan hidup. Lalu, apakah mereka the have not ? Tentu juga bukan. Mereka adalah the have little, mereka memiliki sesuatu meski sedikit. Entah tenaga, tradisi gotong royong, tanah, famili dll. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja (keras), namun produktifitasnya sangat rendah. Acapkali jam kerjanya tak terbatas, namun penghasilannya tetap minim, usahanya kurang berkembang dan hanya bertahan pada tingkat subsistensi. Orang miskin yang aktif bekerja ini dalam terminologi World Bank disebut economically active poor atau pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha (Tambunan, 2002). Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development through equity. Disamping mengakomodasi pemerataan seperti disebut di atas, mengembangkan kelompok usaha ini secara riil strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda. Melihat peran dari usaha mikro yang sangat strategis, timbul pertanyaan mengapa usaha ini kebanyakan sulit berkembang. Untuk menelusuri hal tersebut, tabel di bawah ini akan menunjukkan berbagai persoalan yang menjerat para pengusaha mikro. Bagi pengusaha mikro, persoalan permodalan (aksesibilitas terhadap modal) ternyata merupakan masalah yang utama. Jenis Kesulitan Usaha Mikro 1. Kesulitan modal (Jenis Kesulitan) 34.55% (IKR) 44.05% (IK) 2. Pengadaan bahan baku (Jenis Kesulitan) 20.14% (IKR) 12.22% (IK) 3. Pemasaran (Jenis Kesulitan) 31.70% (IKR) 34.00% (IK) 4. Kesulitan lainnya (Jenis Kesulitan) 13.6% (IKR) 9.73% (IK) Ket: IKR: Industri Kecil Rumah Tangga , IK: Industri Kecil Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh (undeserved) dan tidak dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak layak bank (not bankable) karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan modal apa adanya yang mereka miliki. Tabel data di bawah ini akan memperlihatkan realitas tersebut. Mengapa Keuangan Mikro ? Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di Indonesia sendiri hal itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun lalu pun sudah mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum baru, yaitu dengan adanya Microcredit Summit (MS) yang diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997. MS merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak negara. MS juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan keragaan keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat (perekonomian rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar 600 juta jiwa). Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka. Dalam mengembangkan keuangan mikro untuk melayani masyarakat miskin (economically active poor) tersebut, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan : Banking of the poor Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance, dimana mobilisasi keuangan mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership base, dimana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dll. Banking with the poor Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan yang telah ada, baik kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas bersifat informal atau yang sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta lembaga keuangan formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda itu, diupayakan untuk diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat simbiose mutualisme, atau saling menguntungkan. Pihak bank akan mendapat nasabah yang makin banyak (outreaching), sementara pihak masyarakat miskin akan mendapat akses untuk mendapatkan financial support. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan pola yang sering disebut Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK). Banking for the poor Bentuk ini mendasarkan diri atas credit led institution dimana sumber dari financial support terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat miskin, namun memperoleh dari sumber lain yang memang ditujukan untuk masyarakat miskin. Dengan demikian tersedia dana cukup besar yang memang ditujukan kepada masyarakat miskin melalui kredit. Contoh bentuk ini adalah : Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Grameen Bank, ASA, dll. Bentuk pertama (Banking of the poor) menekankan pada aspek pendidikan bagi masyarakat miskin, serta melatih kemandirian. Bentuk ketiga (Banking for the poor) menekankan pada penggalangan resources yang dijadikan modal (capital heavy), yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Sedangkan bentuk kedua (Banking with the poor) lebih menekankan pada fungsi penghubung (intermediary) dan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada. Keuangan Mikro dan Dua Generasi Pembangunan Upaya penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi rakyat tidak dapat tidak terkait dengan praktek pembangunan yang dilakukan selama ini yang melalui krisis ekonomi telah memaparkan kelemahan dan kegagalannya. Proses pembangunan di Indonesia seperti di banyak negara berkembang lainnya, pada awalnya menyikapi persoalan kemiskinan (termasuk didalamnya ekonomi rakyat) dengan melihatnya sebagai keadaan sementara yang dalam proses pembangunan lebih lanjut akan secara otomatis menghilang melalui proses trickle down effect. Untuk membantu rakyat miskin bertahan dalam kemiskinannya sampai tiba waktunya kue pembangunan menetes pada mereka, disediakanlah berbagai bantuan kepada mereka. Format bantuan ini sangat beraneka ragam mulai dari penyediaan berbagai kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, kesehatan, maupun pendidikan sampai bantuan teknis dan hibah peralatan serta modal. Pendekatan yang sering disebut sebagai pendekatan pembangunan generasi pertama ini harus diakui telah mampu meningkatkan berbagai indikator sosial secara signifikan. Namun harus diakui pula pendekatan ini telah menimbulkan berbagai persoalan seperti berkembangnya sikap ketergantungan dan melemahnya berbagai modal sosial yang dimiliki masyarakat, tidak diselesaikannya akar masalah penyebab kemiskinan yaitu ketimpangan distribusi dan akses terhadap sumber daya ekonomi, masih dipinggirkannya peran perempuan, dan semakin melebarnya jurang perbedaan antara mereka yang diuntungkan dalam kebijakan perekonomian yang diambil dengan rakyat miskin secara keseluruhan. Pada sisi lain, pendekatan pembangunan generasi pertama membutuhkan biaya yang amat besar dan harus ditanggung oleh negara yang dalam kenyataannya semakin lama semakin jauh diluar kemampuan negara untuk membiayai sendiri. Sebagai akibatnya, seperti dalam kasus Indonesia berbagai program pembangunan semakin lama semakin tergantung pada negara dan pembiayaannya semakin mengandalkan pinjaman luar negeri. Belajar dari pengalaman generasi pertama, pendekatan pembangunan generasi kedua mulai menggunakan keuangan mikro sebagai metode utamanya. Kontribusi dari pendekatan generasi kedua ini adalah: 1) diversifikasi pelaku utama pembangunan, 2) pembiayaan pembangunan yang menggunakan sumber-sumber keuangan dari masyarakat sendiri, 3) semakin pentingnya peran perempuan, 4) pendekatan pembangunan yang memiliki potensi untuk berlanjut (sustainable). Pendekatan pembangunan generasi pertama yang menumpukan inisiatif pembangunan pada pemerintah telah memiliki dampak yang kurang menguntungkan pada dua arah. Pada sisi pemerintah beban pembangunan yang sebelumnya tersebar pada berbagai kelompok masyarakat mengerucut dan menjadi beban pemerintah sendiri. Sementara pada masyarakat, pengambiloperan berbagai kegiatan pembangunan oleh pemerintah telah mengembangkan sikap apatis dan ketergantungan yang semakin lama semakin besar. Kelompok masyarakat yang dalam generasi pertama diandalkan oleh pemerintah menjadi lokomotif pembangunan yaitu sektor usaha besar dan konglomerasi telah mendominasi baik pertumbuhan ekonomi, pangsa pasar maupun produk domestik bruto (PDB)[3], akan tetapi dominasi itu ternyata tidak diikuti pengelolaan internal perusahaan yang baik (good corporate governance). Berbagai fasilitas dan perlakuan khusus yang disediakan pemerintah sebagai upaya mengakselerasi pertumbuhan mereka ternyata dalam kenyataannya justru banyak disalahgunakan serta mendorong berbagai tindakan yang tidak sepantasnya (misconduct). Ambruknya sektor usaha besar dan konglomerasi menimbulkan efek domino pada ekonomi Indonesia yang strukturnya memang sudah timpang. Pelajaran lain yang diambil dari itu adalah eksisnya sektor ekonomi rakyat yang selama ini dimarjinalisasi ternyata mampu menjadi bantal penyelamat ekonomi nasional. Menjadi kesadaran bersama bahwasanya kedepan sektor ekonomi rakyat perlu mendapatkan perlakuan yang sepantasnya dan sewajarnya sebagai alternatif pelaku ekonomi nasional. Pengambiloperan inisiatif pembangunan membuat biaya pembangunan menjadi terkonsentrasi pada pemerintah. Beban yang semakin lama semakin besar ini tidak dipenuhi melalui sumber-sumber pembiayaan dalam negeri melainkan menggunakan sumber pembiayaan luar negeri yang pada gilirannya mendorong munculnya ketergantungan yang semakin besar. Kebijakan yang ditempuh tersebut kurang memberikan apresiasi terhadap kenyataan bahwa didalam negeri terdapat sumber dana yang memadai. Kenyataan bahwa dari seluruh dana yang dihimpun dari masyarakat melalui perbankan (kasus BRI) hanya kurang dari separuh yang dimanfaatkan untuk memberikan pembiayaan usaha melalui kredit menegaskan kebijakan tersebut. Pendekatan keuangan mikro dalam generasi kedua membuka pemikiran bahwa pembiayaan pembangunan dapat dilakukan secara komersial menggunakan sumber dana dalam negeri yaitu tabungan masyarakat. Peran perempuan selama beberapa waktu kurang mendapatkan tempat yang sepantasnya meskipun sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa. Pengalaman praktek keuangan mikro di berbagai tempat ternyata memberikan bukti yang berbeda. Kaum perempuan justru merupakan kelompok yang proaktif dan handal dalam mengelola ekonomi rumah tangga dan memanfaatkan peluang ekonomi secara optimal. Kaum perempuan juga memberikan dampak berganda (multipler effect) yang lebih besar dari intervensi pembangunan yang dilakukan karena berbagai persoalan keluarga seperti gizi keluarga, kesehatan keluarga, pendidikan anak, dan sebagainya secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak. Pendekatan proyek yang selama generasi pertama pembangunan dikembangkan, dalam kenyataannya sebagian besar tidak berlanjut. Pendekatan proyek ini memiliki beberapa karakteristik, yaitu: adanya batasan waktu, bekerja berdasarkan budget yang sudah dialokasikan, serta tidak diketahui tindak lanjutnya. Batasan waktu yang melekat pada pendekatan proyek seringkali meniadakan hasil-hasil yang telah dicapai oleh proyek itu sendiri. Hal ini terjadi karena persoalan kemiskinan adalah persoalan komplek yang penanganannya tidak bisa instant result dan karenanya membutuhkan komitmen yang panjang. Pendekatan proyek yang hanya bekerja berdasarkan alokasi budget dalam pengalaman lapangan tidak bisa menarik sumber-sumber pendanaan lain dalam jumlah yang signifikan yang bisa menjamin keberlanjutan dari proyek. Proyek bekerja untuk menghabiskan alokasi yang sudah ditentukan dan tidak perlu mempertimbangkan apakah dana yang sudah dihabiskan akan kembali atau tidak (meskipun dana tersebut adalah dana pinjaman). Kenyataan menunjukkan berbagai proyek juga tidak pernah mempertimbangkan kondisi pasca proyek. Apa yang akan terjadi apabila berbagai pelayanan dan bantuan menghilang? Siapa yang akan bertanggung jawab meneruskan kegiatan yang sudah dimulai? Hal-hal tersebut menjadi persoalan pada pendekatan proyek. Dalam generasi kedua, berbagai inisiatif pembangunan meletakkan persoalan keberlanjutan pada prioritas pertama. Sebagai konsekuensinya, pendekatan proyek mulai digantikan dengan pendekatan sistem dan kebijakan yang memang pada satu sisi menuntut pemerintah untuk secara bertahap mentransformasi perannya dari pelaksana berbagai proyek menjadi fasilitator dan berkonsentrasi pada penyusunan sistem dan kebijakan yang pro ekonomi rakyat. Sementara pada sisi lain, pelaku-pelaku pembangunan perlu diberdayakan untuk bertanggung jawab mengambil peran yang lebih besar. Merajut Kebersamaan dan Membangun Kemandirian Bangsa Dalam konteks pembangunan generasi kedua, menggalang kerjasama berbagai pihak (stakeholders) dalam masyarakat adalah hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah forum (wadah) kebersamaan para pelaku yang mempunyai keterkaitan untuk pengembangan usaha rakyat sehingga bisa saling berkomunikasi, saling memahami, membentuk jaringan, dan bekerjasama secara saling menguntungkan. Salah satu alternatif yang telah dilakukan dalam pengalaman kami adalah pembentukan Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia. Gema PKM ini adalah sebuah forum stakeholder yang terdiri dari institusi pemerintah, lembaga keuangan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, akademisi (perguruan tinggi) dan lembaga penelitian, sektor usaha, sektor bisnis, media massa, dan kelompok swadaya masyarakat (masyarakat miskin). Dari pengalaman yang telah kami alami, dengan adanya interaksi, komunikasi, saling belajar dan mengajar, serta saling memahami satu sama lain, maka akan terjadi pembelajaran masing-masing dan kerjasama yang saling menguntungkan. Banyak persoalan yang akhirnya dapat dipecahkan sendiri diantara para pihak yang berkaitan dengan adanya interaksi dan komunikasi yang intensif. Dan dari refleksi perjalanan yang telah kami alami, untuk membantu mereka yang miskin dan lemah melalui semacam terbentuknya semacam forum ini, niat baik saja tidaklah cukup. Ternyata dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ketahanan bergumul dengan berbagai kerumitan, namun tetap harus fokus pada tujuan. Dan salah satu kunci keberhasilan dari forum semacam ini adalah partisipasi dan sikap pro aktif dari para stakeholder sendiri. Dan sebagai catatan penutup, apa yang kita putuskan atau tidak-putuskan hari ini tidak akan berarti banyak bagi orang miskin (pengusaha mikro) besok atau bulan depan. Mereka tetap akan berusaha untuk ‘survive’ dengan caranya sendiri. Namun apa yang kita putuskan, atau yang tidak kita putuskan hari ini mungkin akan berakibat bagi perkembangan ekonomi rakyat (usaha mikro) dalam jangka menengah atau jangka panjang. Namun yang jelas, kita telah “berhutang” kepada para founding fathers, untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan, yaitu berdaulat dalam bidang politik, berkepribadian dalam bidang kebudayaan dan mandiri dalam bidang ekonomi. Tetapi setiap generasi mempunyai pilihannya sendiri, apakah kita akan memperjuangkan hal itu, tentu tergantung pada diri kita sendiri. Namun yang jelas, setiap pilihan merupakan cerminan dari sebuah sikap. Inilah yang akan memperlihatkan apakah kita akan menjadi bangsa yang besar dan mandiri, ataukah memang kita adalah bangsa yang lemah dan hanya menjadi peminta-minta. Inilah tantangan generasi kita sekarang. Pengalaman Seorang Pengusaha Ibu Sri (bukan nama sebenarnya), berumur sekitar 40 tahun, tinggal di desa Sragen (Jawa Tengah), adalah seorang pengusaha warung makan sederhana. Pada suatu hari terpaksa meminjam uang sejumlah Rp 1 juta dari pelepas uang (atau lebih dikenal sebagai rentenir). Tiap bulan dia harus membayar Rp 100.000, tetapi pinjaman tersebut tidak pernah lunas, sebab bunganya 10% sebulan. Jadi Rp 100.000 yang dia angsur selama ini hanya bunganya saja, sementara untuk pokoknya tidak pernah lunas. Kemudian atas ajakan kawannya, dia bergabung dalam suatu kelompok ibu-ibu para pengusaha mikro lainnya, yang lebih dikenal dengan istilah KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Setelah kelompoknya dipandang cukup solid, oleh pendampingnya diberi kesempatan untuk mulai meminjam ke Lembaga Keuangan Mikro, masing-masing Rp 1 juta. Oleh Ibu Sri pinjaman tersebut digunakan untuk membayar lunas semua hutangnya pada pelepas uang. Kemudian setiap bulannya Ibu Sri tetap membayar Rp 100.000 kepada kelompoknya, dan setelah 12 kali angsuran hutangnya dinyatakan lunas. Ibu Sri sangat bersyukur dan sejak itu penghasilannya meningkat dengan Rp 100.000 setiap bulannya, karena pinjamannya sudah lunas. Itulah keuangan mikro, dengan Rp 1 juta, dapat mengubah kehidupan Ibu Sri dan keluarganya. Ia memang tidak mempunyai akses ke Lembaga Keuangan seperti bank, sebab tak punya agunan maupun tabungan. Satu-satunya akses adalah ke para pelepas uang, dan itu berarti ia akan menjadi miskin seumur hidupnya, karena tingginya bunga pinjaman (10 – 20 % setiap bulan). Berapa banyak orang-orang seperti Ibu Sri di Indonesia? Yaitu orang-orang miskin, tetapi punya usaha yang sangat kecil (makanya disebut usaha mikro). Menurut data dari PNM (Permodalan Nasional Madani), jumlah pengusaha mikro di Indonesia ada 34,5 juta unit, dan dengan keluarganya (istri, suami, anak-anak) rata-rata 4 orang menjadi 34,5 x 4 = 138 juta jiwa, yang berarti lebih dari setengah penduduk Indonesia. Apakah mereka miskin? Umumnya begitu. Kriterianya apa? Nah, di sinilah kita belum pernah punya kesepakatan bersama, dan perdebatan serta adu argumentasi masih berlangsung terus. Masing-masing institusi memakai kriteria yang berbeda-beda, sehingga angka-angka kemiskinan selalu simpang siur. Secara global, ada semacam pengertian tentang kemiskinan yang dapat diterima dan dimengerti satu sama lain, yaitu apabila penghasilannya kurang dari: US$ 1 per hari per orang. Jadi satu keluarga dengan anggota suami, istri dan 2 anak, perlu punya penghasilan 4 X US$1 X Rp 10.000 = Rp40. 000/ hari atau Rp 1.200.000 sebulan, agar tidak tergolong miskin. Wah, kalau begitu angka kemiskinan akan jadi besar sekali? Belum tentu, asalkan usaha-usaha mikro, baik di desa-desa maupun di sekitar kota besar (daerah urban) dapat tumbuh baik. Mari kita lihat pengalaman Ibu Sari di Desa Parung Bogor. Suaminya bekerja sebagai pengemudi, dan dia sendiri sebagai pedagang sayur mayur keperluan sehari-hari, bertempat di rumahnya. Setiap pagi, ketika orang lain masih nyenyak tidur, pada jam 02.00 sampai 04.00, dengan ditemani suaminya dia belanja sayur mayur di pasar Parung. Dia memilih sayur dan makanan sehari-hari, dengan ragam dan jumlah yang kira-kira akan habis terjual hari itu juga. Biasanya dia membelanjakan sekitar Rp 500.000 sampai Rp 600.000 setiap hari, yang terdiri dari: ayam 7 ekor, daging 2 kg, ikan 10 ekor, tempe 70 potong, tahu 200 potong dan sayur mayur lengkap untuk membuat; sambal-sambalan, sayur sop, sayur asem, sayur lodeh dan lain-lain. Dia menjualnya dengan harga cukup ringan (kompetitif istilah kerennya), seperti: sambalan Rp 1.000, sop Rp 1000, sayur asem Rp 1.500, sayur lodeh Rp 2.000. Sisa yang tidak laku dimakan sendiri, atau diberikan kepada orang-orang yang kurang beruntung sebagai sedekah, sebab tidak dapat dijual kembali keesokan harinya. Tetapi kalau ayam, oleh Ibu Sari diberi bumbu, dan dijual sebagai ayam kuning keesokan harinya. Setiap hari penjualannya mencapai rata-rata Rp 700.000, dan masih ada yang menjadi piutang, karena langganannya ada yang penghasilannya bulanan, sehingga baru bisa membayar pada akhir bulan. Tetapi keluarga ini tidak mau menganggap mereka berpenghasilan Rp 2 juta per bulan. Tetapi mereka lebih memilih menganggap penghasilan bersihnya Rp 40.000 sehari, sebab suami dan kedua anaknya mengambil masing-masing Rp 10.000 sehari, dan belanja keperluan rumah tangga lainnya. Mereka mensyukuri Rp 40.000/hari bersih, dari pada menganggap penghasilannya sekitar Rp 2 juta sebulan. Tetapi penghasilan mereka melebihiUS$ 1 per orang per hari. Sehingga mereka bukan tergolong miskin. Usaha mikro memiliki laba atau profit margin yang cukup tinggi. Sebagai contoh pedagang sayur keliling di komplek-komplek perumahan. Harga tempe di pasar Rp 500, di komplek perumahan bisa mencapai Rp 1.500 – tiga kali lipat. Sayur kangkung di pasar 1 ikat = Rp 250, di gedongan bisa mencapai Rp 1.000 – empat kali lipat. Namun pelanggannya puas, karena tidak usah repot pergi ke pasar atau supermarket dan boleh beli secukupnya saja, jadi “win-win”. Bagi usaha mikro, yang terpenting bukan bunga pinjaman yang rendah, tetapi akses ke lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman tanpa agunan dan prosedurnya mudah serta dananya dapat dicairkan tepat waktu dan tepat jumlah. Pinjaman dana itu pada umumnya dibutuhkan untuk tambahan modal kerja. Mengapa diperlukan? Karena harga-harga naik dari waktu ke waktu, maka modal kerja yang ada tidak mencukupi lagi untuk membeli jumlah barang dagangan yang sama banyaknya. Apalagi kalau hasilnya menurun, masih terpakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga modal kerjanya makin susut lagi. Disinilah keuangan mikro berperan untuk menyelamatkan mereka dari kemiskinan. Kalau modal kerjanya sudah cukup, maka kebutuhan mendesak lainnya akan menyusul, misalnya biaya sekolah anak-anak. Mereka tahu betul tanggung jawabnya sebagai orang tua, untuk memberikan pendidikan yang sebaik mungkin bagi anak-anaknya yang tercinta. Nah, tanpa terasa kita telah menceritakan banyak aspek tentang keuangan mikro, serta peranannya dalam mengentaskan kemiskinan. Tetapi apakah para pembaca juga telah menangkap dan mengerti sama seperti yang saya mengerti? Barangkali masih ada yang belum sepenuhnya mengerti, maka baiklah tulisan ini diakhiri dengan ringkasan-ringkasan sebagai berikut: Keuangan mikro adalah suatu alternatif yang amat dibutuhkan bagi usaha mikro, karena mereka tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal: Bank, BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Dalam Keuangan mikro, para pihak yang terkait adalah: a. Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang menyediakan dana yang berkesinambungan dan makin besar dananya. b. Lembaga Pendampingan Usaha Mikro (LPUM), yang secara berkelanjutan mendampingi kelompok usaha mikro maupun satu persatu anggota kelompok c. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), yang membentuk kelompoknya sesuai dengan kebutuhan mereka dan terdiri dari anggota-anggota yang mereka kenal satu sama lain termasuk usaha-usahanya yang beraneka rupa. Berkelompok itu penting karena: Ø Motivasi dan spirit berusaha dapat terpelihara dengan baik, dan mereka dapat belajar satu sama lain. Ø Pada kelompok yang solid, dapat diterapkan sistem “tanggung renteng”. Sistem ini sebagai pengganti kolateral (dikenal sebagai collateral substitute), sehingga resiko tidak membayar kembali pinjaman, menjadi kecil. Ø Kebiasaan menabung dapat dibina dengan baik serta dikembangkan. Dan apabila jumlah tabungan sudah memadai, anggota dapat meminjam dari kelompoknya. Kemudian kelompok yang jumlah tabungannnya sudah besar (Ada kelompok yang jumlah tabungannya lebih dari Rp 30 juta, lho!) melebihi kebutuhan anggota kelompok mereka, dapat menjadi Lembaga Keuangan Mikro yang melayani kebutuhan dari kelompok yang lain. d. Dengan berkelompok, maka biaya transaksi bagi LKM dan LPUM menjadi ringan. Pelayanan secara individual kepada usaha mikro akan memerlukan transactin cost yang tinggi sekali. e. Dengan sistem seperti tertsebut di atas, maka para pihak, yaitu: LKM, LPUM, dan KSM beserta anggotanya, dapat berjalan secara berkesinambungan (sustainable) dan mandiri. Alangkah indahnya. f. Dengan demikian keuangan mikro dapat berperan untuk mengentaskan kemiskinan, tidak untuk semua kemiskinan, tetapi hanya sebatas pada orang-orang miskin yang punya usaha (enomically active poor). Tetapi jangan lupa, jumlah usaha mikro ini besar sekali. Kemiskinan yang lain seperti: orang-orang tua jompo, para penganggur, anak-anak terlantar, harus diatasi dengan cara-cara efektif yang lain. g. Aspek lain dari keuangan mikro adalah kemampuannya untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Coba bayangkan kalau dalam satu desa ada 70 kelompok dengan jumlah anggota seluruhnya 1500 KK dan masing-masing menerima pinjaman rata-rata Rp 1 juta, maka ada dana Rp 1,5 milyar, dan uang tersebut dibelanjakan untuk barang-barang dagangan, baik hasil pertanian maupun hasil industri, maka perekonomian di desa tersebut akan bergerak memutar roda perekonomian yang akan terus mempunyai efek beranting (multiplier effect) sampai pada perekonomian nasional. Itu baru satu desa. Kalau ada 1000 desa, maka dana Rp 1,5 triliun dampaknya bagi perekonomian di desa-desa dan dampaknya secara nasional pasti akan dirasakan.

Tidak ada komentar: